Sebuah perjalanan (menuju puncak karier, misalnya) –yang berhasil kudeskripsikan.
Bacalah sampai selesai, untuk pengayaan hati.
Aku datang di kerumunan orang-orang sibuk. Beberapa lagi ada upacara besar keluargaku, kulihat semua sangat total dalam persiapannya. Baik keluarga dekat, jauh, termasuk tetangga, beramai-ramai membantu, mendedikasikan hampir seluruh waktu mereka untuk karya/ gawe/ upacara. Begitulah tradisi di Bali. Kalau nanti ada di sekitar daerah yang mengadakan kegiatan serupa, sudah pasti warga akan membantu, apalagi yang pernah dibantu.
Dengan melihat banyak detail yang perlu dipersiapkan sebelumnya, tentu selalu ada hal yang dapat kubantu. Hari sebelumnya dan beberapa hari ke depan, aku selalu ikut mengambil bagian di area penyajian makanan untuk tamu –entah membereskan ingke (piring dari bambu, red), mencuci, mengeringkan, dan membungkus sendok dengan tisu, mengganti lilin yang habis, membuka dan menutup hidangan dengan kertas minyak menyesuaikan ada/ tidaknya tamu yang akan makan, dll. Ya harus disadari kadar kontribusiku tidak selincah yang lain, mungkin karena aku canggung, tidak terlalu terbiasa dengan situasi (lama di Jawa, red), introvert, dan waktuku hampir terbatas/ tidak fleksibel –yang jelas aku berusaha sebisaku.
Akan tetapi lain dengan siang itu, aku ketambahan sebuah ‘job’. Orang Bali biasa menyebutnya ‘nanding kwangen’. Nanding kwangen bisa dikatakan sebagai kegiatan menghias kwangen dengan bunga-bunga dan beberapa komponen lain. Oh, kwangen adalah salah satu sarana sembahyang –tidak aku jelaskan lebih jauh ya. Di sinilah pikiran liarku bergerak lagi kemudian mengandaikannya sebagai bagian kecil perjalanan hidup.
Aku didudukkan bersama anak-anak perempuan usia belasan dan ibu-ibu muda hingga paruh baya yang sudah mengerjakannya sebelumnya. Mereka luwes sekali. Syukurlah mereka sangat ramah, aku yang canggung ini mendapat banyak sekali senyum dan sapaan bernada sama “Ini Putu atau Kadek?” Aku mengambil waktu untuk memperhatikan salah satu pekerjaan termudah kala ‘ngayah’ (membantu, red) itu, seorang ibu mau menunjukkannya kepadaku. Pada kojong (daun pisang yang dibentuk kerucut, red), aku harus memasukkan daun kayu, porosan, duras kwangen, lalu meletakkan bunga biru dan bunga pacar serta bunga rampai/ pandan sedemikian rupa agar kwangen menjadi cantik. Setelah itu, masih ada ‘pis bolong’ (uang bolong, red) yang harus disisipkan di antara kojong dan bunga.
Awalnya, mereka terheran-heran bahkan tertawa kecil melihatku mencoba –di satu sisi aku banyak bertanya, aku juga melakukan trial dan error sampai aku yakin dengan apa yang aku lakukan. Kwangen karyaku, setiap selesai membuat, selalu kubandingkan dengan yang lain. Rasanya masih kurang sesuatu, tapi mereka bilang tak apa, sama sekali tidak masalah atau itu hanya perasaanku saja. Bagaimanapun, perasaan kurang percaya diri memang muncul tiba-tiba. Beberapa menit kemudian, aku mulai nyaman. Kwangen karya orang lain dan karyaku dikumpulkan di sebuah besek/ wadah, sepertinya tak akan ada yang sadar/ berhasil menetapkan dengan tepat 100% buatan siapakah kwangen-kwangen itu.
Sampailah pada tahap aku ditegur. Mungkin aku terlalu menggampangkan, atau tidak fokus saat memperhatikan. Pada permulaan, aku merasa sudah melakukannya sesuai prosedur. Namun ternyata, pis bolong yang aku sisipkan malah masuk secara keseluruhan di dalam kojong. Iya benar, semua komponen sudah lengkap, tapi di satu sisi, itu belum cukup. Seorang ibu ini sudah bagaikan supervisor bagiku, beliau memberi tahuku bahwa sebaiknya pis bolong itu tidak tenggelam di dalam kojong, ada setengah bagian yang muncul. Kesimpulannya aku harus menambahkan bunga rampai di dalam kojong sehingga kwangen menjadi padat dan cukup menjepit pis bolong di tengahnya. Aku menerima teguran dan saran itu dengan lapang dada. Memang aku yang tidak terlalu menitikberatkan pada hal itu –lagipula, karyaku bisa jadi sempurna setelahnya. Aku mengangguk berterima kasih lalu melanjutkan kesibukanku.
Belakangan, aku mulai terganggu dengan wadah tempatku mengambil kesemua komponen yang harus kuikutkan ke dalam kojong. Sejauh ini sudah baik, buktinya aku dan beberapa lainnya berhasil menyusun kwangen dengan indah. Namun aku merasa hal ini bisa lebih diperbaiki. Aku mengambil inisiatif kemudian. Dalam wadah tempeh yang bercampur tak jelas antara bunga, rampai, porosan, pis bolong, dan daun kayu itu, aku memisahkan semuanya. Bunga di sisi sebelah A, rampai sebelah B, begitu pun lainnya. Porosan yang masih berada dalam tangkai janur aku lepaskan semuanya sehingga kami tidak akan memakan waktu banyak untuk melepaskannya saat menyusun kwangen. Nyatanya berhasil, karena lebih rapi, tangan kami jadi terbiasa, gerakan kami teratur, dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat.
Waktu terus berjalan hingga larut siang, bahkan hampir sore. Kesemua penanding kwangen itu menyudahi aktivitas ini seiring dengan bergeraknya jam makan. Beberapa menawariku makan siang, aku tersenyum dan menjawab bahwa sebelum kemari, aku sudah makan banyak sekali. Jadilah kini semua hal tentang kwangen berada dalam kuasaku, sendiri. Aku paham kesemua komponen yang harus dilibatkan, bagaimana menyusunnya, dan aku tahu pasti ke mana aku harus mencari komponen yang habis. Setelahnya, saat ada seseorang datang membantuku, aku pun bisa memperagakannya, beliau pun mengadu padaku bahwa ini atau itu akan habis. Dengan sigap, aku mengisinya kembali agar tak sampai habis. Seseorang ini mungkin bisa, namun aku jelas lebih unggul karena aku sudah tahu tempatnya. Tak lama sang ibu ini dipanggil anaknya, aku kembali sendiri, menghias kwangen. Besek penuh berisi ratusan kwangen itu pun mengisyaratkan beberapa ibu di kejauhan untuk menyuruhku berhenti. Pada akhirnya aku berhenti –puas sekali rasanya.
***
Dapat sesuatu? Semoga ya. Mudahnya, pikiranku mengajakku berpikir beginilah jalan yang harus dilalui untuk menjadi manager/ sampai ke puncak. Awalnya, kita akan masuk ke lingkaran yang kita pilih dengan sadar, entah itu pekerjaan atau hal lain yang membutuhkan keseriusan. Lalu kita diberi tanggung jawab yang spesifik dalam lingkaran itu. Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, kita akan lebih banyak mengamati, bertanya, melakukan kesalahan, tidak percaya diri, menjadi sedih, agak tersesat, canggung, dll. Jangan khawatir karena aku sudah membuktikannya, masih banyak orang baik di tengah jalan –dia akan menunjukkan padamu caranya, memotivasi bahwa kita mampu, memuji bila hasil karyamu baik, meluruskan kesalahan (tidak dengan menjatuhkan/ mencibir). Sampai di tengah jalan, karena sudah punya dasar, karena sudah ‘bisa’, kita akan pernah merasa benar/ di atas angin (bahayanya jika sampai gelap mata). Kita tetap harus rendah hati dan mawas diri –bekerja butuh kesadaran penuh, karena ilmu tidak akan pernah habis dipelajari, karena sehebat-hebatnya orang adalah yang mau tetap belajar dari siapapun dan menerima saran untuk menjadi lebih baik.
Berinovasi ternyata perlu untuk membuktikan kita hidup, tidak mengikuti arus. Inovasi membedakan kita dari yang tidak berinovasi, selain aspek kejujuran dan ketekunan. Inovasi adalah wujud kepedulian kita pada sesuatu yang kita kerjakan –karena tujuan inovasi sejatinya adalah mempermudah pekerjaan. Namun yang harus digarisbawahi adalah dalam berinovasi, kita tidak perlu menjadi orang lain, tak perlu mengada-adakan kesalahan/ ketidaksesuaian, dan jangan sampai inovasi itu hanya menguntungkan diri sendiri. Selalu lebih baik bertindak untuk kebermanfaatan sekitar.
Seperti kata HIVI, sangat sederhana, yang terus bergerak (entah itu berlari, berjalan, hingga merangkak –semampu diri), adalah yang lebih maju dari yang diam/ berhenti. Suatu hari nanti, dengan bekal ilmu dan pengalaman, dengan modal waktu yang dikorbankan, dengan mental hasil penempaan, dengan attitude baik yang melekat, kita akan menjadi lebih unggul –dari pemula, kita akan menjadi bisa karena terbiasa. Di situlah biasanya tanggung jawab/ kepercayaan lebih besar akan datang, misalnya menjadi manager atau setahap lebih tinggi. Berada di level ini, proses naik level akan kembali dari bawah/ awal, begitu seterusnya. Yang pasti, semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin bertiup, jangan sampai terbuai.
***
Kadang ada pertanyaan padaku, “Memang bisa aku sampai ke level (lebih) tinggi?” Kita harus selalu percaya tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, apabila semuanya dilakukan di jalan Tuhan –Tuhan pasti akan membuka jalan, Tuhan pasti akan memberi kesempatan. Sesuai ceritaku tadi, untuk sampai di atas, semua hanya masalah waktu namun teruslah berproses! Penerima Adhi Makayasa 2017 dari Angkatan Udara mengatakan bahwa kuncinya ada dua, kesiapan dan kesempatan. Kita tidak bisa memprediksi kapan datangnya kesempatan, namun kita selalu bisa memaksimalkan kesempatan kapapun dia datang jika kita siap. Aku sampaikan semangat kepada semua orang yang sedang berusaha memperjuangkan mimpi, semoga Tuhan memberi kelancaran dan kemudahan.