Adulting #2

Anggaplah judulnya Semangat, Pak Made!

Akhirnya bisa kabur sebentar dari hardship post, hahaha. Aku sangat menikmati hari-hari pulang kampung ini. Mencuci dan menjemur banyak baju anggota keluarga, menyapu, menggosok kamar mandi, hingga mebanten jotan/ saiban tidak pernah terlalu menyenangkan semenyenangkan kali ini. Sore ini aku bilang pada ibuku bahwa beliau tidak perlu masak untuk makan malam. Aku sudah lama terpengaruh perkataan adik dan ayahku. Katanya ada restoran baru buka yang tak jauh dari rumah, yang mana menunya sangat beragam dan rasanya enak semua. Padahal ayah dan adikku baru pernah makan capcay, ayam koloke, nasi goreng, dan mie goreng saja, namun mereka sudah berani menjamin kesemua makanannya enak. Aku pun luluh juga. Rencana makan lagi di sana harus segera ku-eksekusi sebelum negara api kembali menyerang (baca: balik kerja, liburan selesai).

Ibu menyetujui ideku. Kami akhirnya bersiap-siap. Ayahku tampak bersemangat, senang sekali bertemu pengelolanya. Beliau bilang pengelolanya kini sudah menjadi kawan baiknya. Seperti biasa, ayahku selalu bisa mendapat teman baru dalam segala situasi. Adikku tidak ikut, dia sudah ada rencana lain.

Kami sampai di Happy Resto sekitar pukul 19.00 WIB. Hanya ada sedikit orang yang tampak makan di tempat. Apa benar makanannya enak? Ayahku kemudian menyapa pengelolanya, namanya Pak Made (namanya memang sebenar-benarnya Made ya, bukan karena aku memikirkan Made setiap hari). Beliau tampak sangat sibuk, ternyata pesanan online sedang melimpah. Ini adalah alasan mengapa restorannya sepi, orang-orang mungkin memilih makan malam di rumah. Tetapi menurut pengakuan Pak Made, Happy Resto ini memang lebih berjaya di online. Tidak terhitung berapa kali abang-abang aplikasi online menunggu dan mondar-mandir restoran ini. Dalam 10 menitku di sini, aku mendengar beberapa kali dering pesanan.

Aku sepertinya sedang beruntung. Hari itu ada promo beli 1 gratis 1 untuk semua jenis nasi goreng. Jadilah kami pesan nasi goreng ayam 1 -tidak jadi memesan nasi putih. Bersama nasi goreng ayam, kami juga menjatuhkan pilihan kami pada capcay goreng dan ayam koloke (nyatanya aku kurang berani bereksplorasi, memilih yang sudah direkomendasikan adikku sebelumnya). Lagipula ayah dan ibuku sepertinya sudah sangat lapar, kami tidak punya banyak waktu untuk memilih lebih lama lagi.

Makanan pertama, nasi goreng ayam, datang sekitar 35 menit kemudian. Benar-benar 2 porsi, datang dengan semangkuk kecil acar dan segelas teh hangat gula pisah. Ayahku langsung menyantapnya, namun tidak terlalu banyak dengan alasan menunggu 2 pesanan lainnya. Ayam koloke lalu datang di pukul 8 malam lewat. Selama ini? 

Dari mejaku, aku bisa mengamati Pak Made. Beliau memang bekerja sangat keras hari itu, apalagi hanya sendirian di meja kasir. Beliau harus merespon pesanan aplikasi online, menyalin pesanan dan meneruskannya pada tim masak di ruangan lain, kembali lagi ke depan untuk packing beberapa kotak stereofoam untuk diserahkan pada abang pengantar, mengurus transaksi, menawarkan menu pada yang hendak makan di tempat, mengantarkan makanan dan minuman yang dia bawa dari dapur, begitu terus. Yang paling dominan jelas 4 aktivitas teratas. Benar-benar ya, pesanan online bisa begitu banyak dan menunya beragam. Ada yang pesan sampai 7 kotak dan menunya beda semua -menambah waktu tunggu karena tidak bisa dimasak bersama. Tidak jarang aku dengar abang pengantar bertanya, "ini sudah belum ya?" Pak Made kemudian menjawab 'belum', wajahnya tampak lelah.

Ayah dan ibuku kini tampak gelisah. Keluarga kami biasanya memang mengutamakan sayur di atas segalanya, hahaha. Kurang lengkap dan lezat rasanya bila tidak ada sayur di situ. Aku yang terus-menerus melihat Pak Made dan aktivitasnya pun bergerak ke meja kasir walaupun aku tahu ini akan sangat mengganggunya.

"Pak Made, capcay-nya memang belum ya?" tanyaku tanpa intimidasi sama sekali.

Waktu sudah menunjukkan setengah 9 malam ketika beliau tampak panik dan kebingungan. "Lho, belum ya, Gek?"

"Iya Pak, tinggal itu saja."

"Wah maaf. Sebentar ya." Beliau bergegas ke dapur untuk berkoordinasi dengan tim masaknya.

Ibuku curiga jika menunya sudah dibuatkan namun dianggap pesanan online, sehingga pesanan itu tidak pernah sampai ke meja kami, melainkan jatuh ke tangan abang ojek (karena capcay termasuk cukup sering dipesan). Setelah beliau berbalik ke dapur, 15 menit kemudian piring berisi capcay itu pun datang -piring yang sudah ditunggu sejuta umat. Ayah dan ibuku berterima kasih atas inisiatifku, katanya kalau aku tidak datang ke meja kasir, mungkin sayurnya tetap tak kunjung datang. Aku tertawa kecil saja, sepertinya salah tingkah.

Restorannya cukup dekat dari rumah, hanya 5 menit kurang, namun kami menghabiskan 1,5 jam menunggu makanan. Aku mengamati juga ayah dan ibuku yang tidak marah sama sekali padahal dalam kondisi benar-benar lapar. Aku, ayah, dan ibuku mungkin tidak marah, tapi bisa saja kesal, namun perasaan seperti itu tidak muncul juga. Aku mengajak pikiranku berdiskusi lagi. Baiklah, aku mungkin tidak terlalu tahu apa yang dirasakan ayah dan ibuku, kupersempit saja analisisnya. 

Apa yang membuat marah dan kesal itu tidak datang walaupun aku berada di kondisi yang sangat wajar jika merasakan itu? Aku melihat/ ditunjukkan bigger picture-nya. Aku melihat bahwa keadaannya memang hectic -Pak Made sendirian, demandnya saat itu sedang tinggi, beliau dan tim berusaha profesional namun tetap ada faktor resources yang terbatas. Marah/ kesal itu untuk apa, marah/ kesal itu kepada siapa. Pak Made khan tidak mungkin sengaja mengulur-ulur waktu mengantarkan makanan, beliau tahu ayahku sangat lapar -apalagi mereka berteman dan karena kenyataannya tidak begitu. Ini jadi bekal yang baik bagi proses adulting yang harus selalu kuingat. Iya, kini sudah ada contoh realnya.

Apa kemudian jika aku tidak melihat/ ditunjukkan sebuah bigger picture dari suatu keadaan, artinya aku boleh marah/ kesal? Tergantung semenyebalkan apa situasinya, emosinya mungkin muncul, namun aku selalu bisa mengarahkan ke kalimat ini, "In, kamu cuma belum lihat bigger picture-nya."

***

Kami meninggalkan restoran itu sekitar pukul 9 malam, setelah semua makanan sudah habis. Memang benar kok, makanannya enak! Jadi lebih enak lagi karena harganya tidak terlalu mahal -mengesampingkan waktu menunggu.

"Pulang ya, Pak Made!" ujar ayahku.

"Makasih, Pak! Maaf ya nunggunya lama sekali." Pak Made mengatupkan kedua tangannya, mukanya tampak benar-benar bersalah.

"Sudah selalu kumaafkan..." kataku dalam hati.

My Instagram