My First Concert Ever!!!

Foto yang dipajang yang sama Era, Nugie, dan Iqbal aja kali ya.
Faiz dan Chia khan udah banyak ter-ekspos gitu :D
Video footages ada di bawah.

Menulis lagi setelah...

Dalam diskusi-diskusi terakhirku dengan Tuhan, aku jadi sadar aku terlalu banyak menunda atau meniadakan ''do more of what make(s) you happy'' untuk diriku sendiri. Hampir puluhan tahun, selalu orang lain --walaupun itu juga bagus, tapi mungkin kali ini beda cerita. Jadi aku berulang kali berkata pada Tuhan, "Tuhan sudah mengabulkan salah satu keinginanku, terima kasih. Ada dua hal besar lagi tapi aku sadar aku terlalu idealis untuk itu, aku mau lebih go with the flow. Aku mau hidup dengan merasa cukup, tidak mau terlalu banyak goals sangat besar karena nanti aku semakin cinta hal-hal duniawi. Aku mau hidup dengan merasa cukup, tapi kalau memang harus punya keinginan, baiklah aku akan buat beberapa yang masuk akal (dan kemudian mungkin jadi lebih indah kalau Tuhan restui). Sebelum aku dipanggil Tuhan, di sisa hidupku, tolong aku diarahkan untuk melakukan "do more of what make(s) me happy", hal yang tidak aku sediakan ruang dalam pengejaran goals-ku bertahun-tahun." Atau kemarin-kemarin aku kurang mengenali diriku sendiri (?)

Itu berupa nonton konser. Konser yang personal/ intimate, tidak usah terlalu banyak orang. Konser band yang memang sepersonal itu untukku jadi aku bisa berteriak menyanyikan lagu-lagunya karena aku familiar. Aku mau nonton konser yang pengisi konsernya memanglah temanku sehari-hari di kamar. Aku mau nonton Reality Club, Mocca, Adikara Fardy, Danilla, atau Vira Talisa.

Itu bisa berupa band. Aku mau punya band dan bernyanyi lagu-lagu bergenre tidak biasa. Aku mau punya band dan bernyanyi lagu-lagu yang menurutku bagus namun tidak populer --karena suaraku memang sangat tidak tertebak. Bernyanyi ternyata membuatku happy, indeed. Yang terjadi saat ini adalah aku bisa menyanyi tapi tak mungkin bernyanyi di kamar karena kamarku tidak kedap suara (kamar di Belanda sih beda lagi, tiap hari aku bernyanyi). Aku tidak punya siapapun yang bisa mengiringiku dan sayangnya aku juga tidak bisa main musik. Semoga dalam waktu dekat aku menemukan orang-orang ini. Aku bahkan sudah punya nama untuk band-nya.

Itu juga bisa berupa cameo di film. Kalau tidak salah, dulu aku pernah bilang ingin sekali jadi peran tidak penting di sebuah film --semacam orang yang jalan di jembatan penyebrangan, orang yang lalu lalang di ruangan, atau hanya terlihat dari belakang pun tidak masalah. Hahaha, aku ternyata sampai di tahap ini. Sebenarnya dulu juga aku pernah berceletuk, aku ingin terlibat sebagai salah satu kru di film anak lokal --karena aku sangat concern terhadap perkembangan film anak Indonesia, sesupport itu. Namun aku sadar diri, lebih baik memperjuangkan menjadi peran tidak penting dulu, toh namanya juga tercantum di credits walaupun kecil sekali/ paling belakang.

***

Dari judul pasti sudah tertebak ya, khayalan/ keinginan nomor berapa yang ingin kuceritakan. Ini sekali lagi cerita yang ingin kuabadikan untukku, untuk dikenang 20 tahun lagi. Ini Intan yang lain, yang keluar dari zona nyaman (yang dia tahu), yang memperjuangkan ''what make(s) her happy."

13 Desember yang lalu aku lihat tweet Faiz di home. Poster intimate concert 2112, sesuai dengan judul lagu Reality Club yang lumayan hits (sangat menyentuh perasaan). Kok sesuai dengan yang aku minta? Di titik ini Tuhan mungkin bilang aku ke-GR-an. Jadilah aku tulis, "semoga kesampaian bucket list yang ini," tanpa ada keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut.

Teman baikku di Surabaya sana tampaknya sangat bersemangat mengajakku. Dia mengirimi link tiket untuk memulai perjuangan ini. Presale 1, tidak dapat posisi. Presale 2, lupa waktu. Di sini pun aku sudah membayangkan kesempatan terakhir pun tidak akan berpihak padaku.

Hari presale 3 datang. Pukul 16.00 link tiketnya. Aku sudah pasang 2 alarm, 15.30 dan 15.45. Hari itu aku di kantor, tidak terlalu berkonsentrasi di pekerjaan yang menyita pikiran. Aku kerjakan hal-hal kecil saja seperti memberi reminder kepada kolega-kolega sembari menunggu waktu. 16.00 tepat, website masih menunjukkan 'not started' bahkan sampai 5-10 menit kemudian. Di saat tidak tahu harus menunggu berapa lama, seniorku memanggilku. "Oke In, relakan," kataku.

Seniorku memintaku menjelaskan sesuatu dan kemudian menceramahiku. Sekembalinya aku ke mejaku, aku sedih akan dua hal: ditegur karena perbedaan persepsi dan kehilangan kesempatan menonton Reality Club. Sungguh sedih sekali, terutama yang pertama. Sejenak aku memikirkan bagaimana citraku kemudian, namun seketika aku sadar itu di luar kendaliku. Termasuk gagalnya aku dapat tiket. Namun karena sedihku ini nyata adanya, aku biarkan diriku merasakan kesedihan beberapa menit sambil pura-pura kuat mencoba kembali ke websitenya. Di-refresh-pun tetap sama saja. Lucu ya, padahal sudah bilang merelakan.

Lalu teman baikku mengabari. Dia berhasil mengusahakan tiketnya di 16.43, yang berarti aku harus berusaha sendiri. Kali ini, websitenya tampak bersahabat. Aku buru-buru menyudahi pembayaranku karena aku cuma punya waktu 15 menit. I GOT THE TICKET! Tuhan baik sekali, kesedihanku hilang. Is it manifesting?

***

Kenapa segitunya? Ibu, adik, dan teman-temanku bahkan tidak tahu siapa itu Reality Club.

Reality Club ini sudah menemaniku di masa-masa susah. Sepertinya tahun 2017 atau 2018. Bahkan lagu intro lomba siaran radioku saat itu adalah lagu Reality Club - Never Get Better (salah satu lagu favorit).  Saat-saatku menulis essay sepertinya juga sudah ditemani oleh Reality Club. Lagu-lagu awal yang aku dengarkan adalah Is It The Answer dan Elastic Heart, terputar otomatis di Youtube, saat mendengarkan Youtube mix --Danilla, Sore, Mondo Gascaro, Mocca, ya semacam itulah.

Menemukan Reality Club nyatanya seperti menemukan harta karun. Musiknya unik, liriknya jenius, dan ternyata tidak pasaran. Kalaulah aku bertemu dengan seseorang yang mengenal Reality Club bukan dariku, sensasinya bagiku juga sudah seperti menemukan harta karun. Semenjak mendengar Reality Club, lagu-lagunya selalu ada di playlistku, mulai dari album 1-3. Menemani belajar dan bersih-bersih di Belanda lah, menemani perjalanan di minivan Maroko lah, menemani siaran, dan banyak lagi. Saat album keduanya muncul, aku suka hampir semuanya, terutama On My Own. Kala itu aku sedang mengadakan perhelatan pemilihan Sekjen PPI Belanda 2019, kereta dari banyak kota tertunda kedatangannya karena entah cuaca buruk atau ada yang menjatuhkan diri ke rel. Agar teman-teman presidium yang sudah hadir mau menunggu, aku memutar lagu Reality Club berkali-kali dan seterusnya --maksudku, mari menunggu waktu yang panjang ini dengan mendengarkan musik sebagus ini (haha, benar-benar subjektif). Besoknya, temanku yang dewan presidium Utrecht itu toh menghubungiku secara personal untuk menanyakan nama band yang aku putar lagu-lagunya. Aku ingat pernah juga mengirimi link lagu Telenovia untuk teman baikku dari Spanyol (Helena) dengarkan, alasannya karena ada dialog berbahasa Spanyol ala telenovela di dalamnya. Dia bilang novia means darling, dia bilang juga lagunya lumayan.

Selain utamanya menemani, di samping itu, Reality Club juga pandai memainkan perasaan. Mungkin karena pengalaman seorang personilnya sama denganku, makanya lirik-liriknya terasa sangat dekat. Maksudnya? Ya dengarkan saja lagu 2112-nya. Tapi menurutku, yang benar-benar menimbulkan getar-getar sedih paling dalam adalah lagu A Sorrowful Reunion. Lagu ini ada di jajaran 3 besar lagu galau sepanjang masa versiku bersama Mocca-When The Moonlight Shines dan T.Rucira-Satu-Satu. Faiz (vokalis, gitaris, pencipta banyak lagu Reality Club) bagiku memang brilian. Dan lalu aku kehabisan kata-kata. 

***

Mendekati konsernya, aku justru sakit. Hari Sabtu sebelumnya, aku yang merasa tidak terlalu suka makan nasi ini memutuskan untuk membeli gado-gado dan membaginya menjadi makan siang dan malam. Dilanjutkan Minggunya, aku menghadiahi diri yang terkesan sok sehat ini dengan mie goreng jumbo yang harapannya akan cukup mengganjal lapar hingga petang, namun nyatanya siang harinya saja aku sudah terlampau lapar. Sore hari setelah membayar tiket penginapan dekat tempat konser, aku akhirnya makan ayam goreng dan nasi, namun ternyata ayamnya cukup pedas.

Selasa adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu, sayangnya Senin adalah hari di mana aku merasa tidak baik-baik saja, sangat tidak fit karena kesalahanku sendiri --selalu merasa kuat. Senin itu, aku benar-benar fokus menahan perih lambungku, aku sudah tidak punya tenaga untuk bekerja. Teman-temanku sudah menyuruhku pulang saat makan siang, namun aku menahannya hingga bel pulang karena ada pekerjaan yang membutuhkan kehadiranku.

Aku pulang segera setelah bel berbunyi, pulang yang tercepat selama ini, penyebabnya adalah kesakitan. Saat memandang langit aku bergumam, sepertinya aku harus merelakan konserku. Aku sudah tidak kuat. Ya Tuhan, mana sendirian :/

***

Karena Tuhan tahu ini adalah keinginanku yang cukup besar, Tuhan memberiku sedikit kekuatan untuk bertahan dan bergegas berangkat di Selasa sore, pasca terbaring lemah semalam sebelumnya. Tidak ada persiapan istimewa. Hanya payung karena sampai saat aku berangkat pun hujan tak kunjung reda, jaket jeans biru kesayanganku karena aku tahu aku akan kedinginan, pisang karena perutku sedang sangat tidak bersahabat, dan pulpen --kupikir aku bisa mencuri sedikit waktu untuk meminta Faiz dan yang lain memberiku tanda tangan (yang anehnya aku sadar belakangan kalau aku tidak bawa kertas).

Jalanan sekitar Kemenkes jadi jauh lebih penuh karena ada proyek. Jelas saja perjalananku jadi lebih jauh dari segi waktu, bukan jarak. Aku sudah pasrah. Namun karena Tuhan yang baik, berangkat sekitar pukul 15.30 pun tak menjadikanku telat walaupun macet parah. Dan aku akhirnya tahu, Jakarta Selatan itu benar-benar seperti Jakarta yang lain, antah berantah.

***

18.00 dan aku berada di lingkaran anak-anak Jakarta Selatan yang sudah biasa menonton konser. Kebetulan karena ini intimate concert, tempatnya tidak terlalu besar. Dalam pandanganku, aku bisa melihat Bilal Indrajaya dan Iqbal-Reality Club yang sudah datang duluan. Aku duduk di bangku yang terbilang depan, tidak ada yang menghalangiku melihat panggung. Sayangnya, berada di area ini membuatku harus merelakan sepatuku ternoda lumpur cukup parah, maklum pasca hujan deras. Tidak lama, Faiz dan Chia datang, bajunya hitam. Dari belakang pun mereka sudah charming, bagiku.

Barry si MC kembali bersuara setelah Guernica Club, band pembukanya, turun panggung. Barry ini benar-benar tidak asing bagiku. Aku tahu dia sejak tahun 2009an karena (mungkin) dia reporter lepas Kompas, ya aku menemukannya di koran. Aku juga adalah teman Facebooknya, entah dia sadar atau tidak.

"Sejak kapan suka Reality Cub?", "Lagu apa yang paling berkesan dan kenapa?", "Paling suka video klipnya yang mana?" tanya Barry ke anak berjaket bomber setelah dipaksa maju ke panggung. Pikiranku sudah bergemuruh, pura-puranya pertanyaannya aku tujukan ke diri sendiri, aku sudah menyiapkan jawaban yang sangat personal, hanya untukku saja karena aku yakin tidak akan dipanggil.

"Lo nonton konser sendirian? Coba panggil satu orang cewek buat nemenin lo," sahut Barry kemudian.

Anak itu terlihat gelagapan dan kebingungan untuk memilih. Matanya mencari-cari. Aku duduk memeluk tas kesayanganku, sampai di tahap ini aku cukup yakin tidak akan dipanggil karena penampilanku tidak semencolok/ semenarik apapun itu. "Milih aja lama, apaan deh, udah jelas bukan aku juga," gumamku dalam hati.

"Itu aja, yang meluk tasnya di depan."

"Yang pakai kacamata itu ya?" Barry memverifikasi pilihan anak itu.

"Iya, jaket jeans."

5 detik rasanya aku seperti tidak percaya. My first concert, dan dipanggil ke depan.

Penonton-penonton lain menoleh ke arahku dan bertepuk tangan saat aku berdiri dan berjalan ke panggung.

Setelah ditanyai macam-macam yang ternyata pertanyaannya tidak serupa dengan yang ditujukan ke anak itu, yang sedikit banyak aku kecewa karena aku ingin menceritakan sepersonal apa Reality Club bagiku di depan semua fans yang lain yang mungkin satu aliran denganku dan karena aku yakin suaraku cukup bagus untuk mendapatkan kesempatan menyanyikan reff A Sorrowful Reunion hingga Faiz akan me-notice-ku, akhirnya aku berhasil mendapat notebooknya (benar-benar berguna setelah menyadari aku tidak membawa kertas untuk mengabadikan tanda tangan personelnya). 

Notebook yang aku dapatkan bentuknya seperti yang ditunjukkan link ini (lanyard-nya juga lucu ya, kenapa aku harus pilih satu, kenapa tidak bisa keduanya, hahaha abaikan).

Ada untungnya juga maju ke depan, terima kasih ...sampai di sini aku tidak tahu namanya, hanya ingat jaket bomber warna emasnya.

Sekembalinya aku ke tempat dudukku, personel Guernica Club datang memberikanku merchandise kipas. Wah, seru sekali dapat macam-macam seperti ini --selain Let's have a match (korek api) Reality Club, poster A5 Tell Me I'm Wrong, dan note book You Let Her Go Again. Kipasnya berguna sekali, sejauh ini aku gunakan untuk mengeringkan skincare.

***

"Oke, pada berdiri yuk, maju-maju ke depan sini, biar berasa konser," Barry mengajak semua penonton meninggalkan zona nyaman mereka. Seketika, semua kecuali aku dan seorang temanku, berlari merapat, mencari spot terbaik menonton Reality Club. Aku yang terheran-heran baru sadar kalau konser memang seperti ini, mendapat tempat di belakang tripod alat perekam --ya tempat paling depan jelas sudah penuh dengan histeria penonton setia.

Aku tetap bersyukur. Dari tempatku berdiri, aku masih bisa melihat Faiz, Chia, dan yang lain. Yang sedikit mengganggu pandanganku hanya tripod kamera itu --lama-lama aku juga akan terbiasa. Tapi tidak lama, seseorang memindahkan tripod itu ke belakang demi view yang lebih baik. Aku dan temanku satu lagi langsung maju ke depan, dan jadilah kami berada di antara histeria penonton setia itu. Benar-benar di depan dan di tengah.

Tidak henti-hentinya aku mengulang dalam ingatan kesemua peristiwa baik yang menghampiriku setelah aku mengucap aku ingin menonton konser Reality Club. Lamunanku hilang saat Chia menyapa "mana yang dari Surabaya tadi?" Hahaha, dia mengingatku.

Sekitar 1 jam lebih aku sibuk bernyanyi sekencang-kencangnya karena aku hafal hampir semua lagunya. Bagaimana tidak, aku hampir selalu memutar lagu mereka. Tidak terlalu banyak momen yang kuabadikan di ponselku, momen di sini-kini lah yang penting bagiku. Walaupun begitu, syukurnya, temanku masih suka membuat story/ reels, dia cukup membantuku mengabadikan momen yang tidak mungkin terulang ini.

Memandang ke belakang panggung, aku yakin ada Vira Talisa duduk di sana. Tapi apa halusinasiku keterlaluan?

***

Ternyata itu memang Vira. Dia ada di tempat yang sama denganku.

Selesai konser, saat sedang mengantri demi tanda tangan semua personelnya, aku memberanikan diri melangkah ke arah Vira. Hari itu dia memakai dress hitam, dia selalu manis seperti biasa dengan poni lempar sampingnya --mirip aku sebelum memutuskan memanjangkan poni. Vira Talisa juga sangat personal bagiku, aku memanggilnya sister in dreams. Karena lagunya yang berjudul Down in Vieux Cannes, aku jadi memasukkan Cannes ke dalam bucket listku. Karena kisahnya yang dulunya kerja kantoran demi mengumpulkan modal bermusik, aku jadi hendak ke arah sana (oops, maybe someday, you'll my face among the crowd, itu lagu Cherrie Amour - Stevie Wonder).

"Kak Vira ya?"

Dia menoleh dan tersenyum. Manis sekali.

"Kak, boleh minta tanda tangan?" Aku menyodorkan notebook Reality Club dan pulpen bekalku.

"Boleh, duh maaf ya tulisannya jelek." Di dalam hatiku mau seperti apapun tulisannya, itu tidak penting. Lagian tangannya sudah se-artsy itu menciptakan karya-karya seni yang unik, apapun yang dia torehkan di kertasku, menurutku itu juga seni.

Sembari dia menulis di kertasku, aku berkata lagi, "Kak, aku selalu dengar lagu Kakak pas belajar. Aku dengar lagu Kakak yang paling baru juga, Oh Sunny Days (lalu aku bernyanyi sebentar di sampingnya). Kak Vira tetap bikin karya ya, aku suka banget lagu-lagu Kakak. Bakal terus di-support."

Dia tersenyum lagi dan mengucapkan terima kasih. Lalu memegang pundakku. Kami kemudian berfoto. 

Vira sebenarnya tidak tahu kalau aku lebih tua darinya. Tapi hal itu tidak penting, yang penting adalah aku yang memang tidak terlihat seperti orang tua, masih selalu muda. Pembenaran selanjutnya ada di bagian bawah tulisan ini :)

***

Kini aku benar-benar di depan Faiz, setelah masuk lagi ke dalam antrian. Dia yang menyapaku duluan.

"Ini kamu beli?" tanyanya melihat notebook-ku.

"Dapat dari quiz maju ke depan tadi."

Faiz sibuk menggoreskan spidol silvernya.

"Ini konser pertamaku," tiba-tiba saja aku berkata begitu.

"Oh ya? Really? Nggak kelihatan loh, udah seperti sering nonton konser kita. Soalnya tadi khan full nyanyi di depan."

Wah, Faiz notice aku!!! (Maaf ini sudah tidak sesuai dengan kaidah penulisan, aku hanya ingin bercerita, karena mungkin aku melupakan ini beberapa waktu ke depan).

Kami kemudian mengobrol hal lain lagi. Dia ramah sekali pada semua fansnya. Benar-benar tidak berjarak. Tidak sombong juga walaupun dunia (maksudnya aku) tahu dia juga adalah lulusan S2 Leiden Belanda. Memori paling kuat dari percakapan kami adalah aku memuji kemampuannya mengubah kegalauannya menjadi nada dan lirik yang dalam. Aku bercerita kalau kami punya kesamaan cerita di sana.

"Kalau aku, Muslim dan Katolik," dia menimpali. "Tapi sekarang di Indonesia, yang begini jadi possible nggak sih. Masalah utamanya cuma di keluarga."

Aku mengangguk. "Semoga ada bintang jatuh lagi ya untuk kalian." Aku sedikit paham cerita Faiz dan Belinda, beberapa kali aku mendengar podcast mereka yang isinya menguatkan satu sama lain untuk merelakan.

Di titik ini aku mau berterima kasih pada Luluk temanku, yang pada saat aku serius mengobrol dengan Faiz, merekamku. Karena aku punya memorinya di ponsel, aku menobatkannya menjadi smiling-ear-to-ear moment 2021.

***

Ini bagian akhir ucapan yang dikabulkan semesta --ingin menonton konser dan semua hal berjalan lebih baik dari yang dibayangkan.

Saat menunggu pesanan taksi online datang, aku teringat anak berjaket bomber emas yang tadi memanggilku maju. Kini dia juga ada di depan kafe itu, sepertinya juga menunggu jemputan.

"Mas, makasih ya tadi sudah nunjuk saya. Saya jadi dapat notebook. Kalau belum ada yang bilang ini, hidup Mas sudah berguna banget bagi saya."

Dia tampak terkejut. "Wah biasa aja Mbak," jawabnya malu-malu. Namanya Apip, ternyata masih kelas X SMA.

"Tadi kenapa nunjuk saya?" Pertanyaan yang benar-benar kurasa perlu ditanyakan, mumpung orangnya di depanku, mengingat semua yang di sana punya kesempatan sama atau lebih besar lagi untuk dipilih.

"Hmm, muka Mbak tuh udah kaya pasrah gitu bakal ditunjuk. Ya udah lah, aku pilih Mbak aja."

Aku tertawa kecil. Aku sama sekali tidak ingat seperti apa ekspresiku di balik masker saat berpikir aku tidak akan ditunjuk.

Luluk kemudian bertanya pada Apip, "Apip kira-kira tau nggak Mbak ini umur berapa?"

"Semester 3 kuliahan khan? Ya gitu sih aku lihatnya!"

Aku dan Luluk kemudian tertawa lagi. Dalam hati aku bersyukur, inilah yang kumaksud dengan pembenaran aku tidak seperti orang tua, masih selalu muda ;)

***

Sudah terlalu banyak hal baik yang aku bagikan di sini, yang aku harap aku tidak lupa kebaikan Tuhan dan bagaimana semesta bekerja pada goal/ keinginan seseorang yang berani mengucapnya.

Cheers untuk mimpi-mimpi ke depannya, entah sereceh apapun, itu adalah bentuk mengenali diri sendiri dan memperjuangkan kebahagiaannya.

Selamat tidur, In. Ayo berkhayal lagi~

My Instagram