Belajar, Mengerti

Ramai seperti biasa –ya kapan ruangan Kasie Administrasi dan Pelayanan Penduduk pernah sepi? Pernah, kalau Kasie-nya tidak ada di ruangan! Hari itu, antriannya empat, kuhitung lima denganku –sebelum seorang ibu dengan dandanan super maksimal itu menyerobotku dan tiba-tiba duduk.

Karma berjalan cepat, aku tetap dipanggil lebih dahulu oleh Ibu Kasie walaupun beliau tidak tahu urutan kedatangan kami. “Tan, Senin aja ke sini lagi ya. Atau Rabu..Kamis aja ya, seharusnya sih hari ini tapi dicoret lagi sama Kadinas.” Aku tersenyum mengangguk –hal yang sudah kuprediksi kesekian kalinya. “Nggak apa lah ya, ini khan demi kebaikanmu.” Kebaikanku? Yang mana? Pikiranku mulai berjalan mundur.

Hal ini kumulai karena grupku selalu ramai membahas ini, padahal pengakuan kakak kelasku menyatakan jelas kalau kami bisa saja tak perlu akta kelahiran di sana, tidak ada yang meminta. Menitikberatkan pada kerennya akta dwibahasa, aku lebih memilih mengusahakan ini padahal aku sudah punya akta terjemahan. Ini adalah kesalahan pertama yang kuteruskan kadarnya, hanya karena ‘keren kalau punya.’

Kabupaten tempatku tinggal tidak mau memproses aktaku menjadi dwibahasa –karena akta kelahiran dibuat sekali untuk selamanya, itu pun tertuang dalam peraturan, masuk akal. Sementara kota tempatku lahir tidak bisa membantu banyak selain surat keabsahan bahwa benar aku lahir di situ –katanya, pengurusan dokumen itu asas domisili. Hampir setiap hari aku bolak balik kota kabupaten yang sama sekali tak dekat dari rumahku, itu jauh dan selain waktuku, aku juga mengorbankan waktu ayahku serta bensin. Waktu mengantrinya juga lama, dari pagi hingga sore jika perlu melengkapi berkas dan lain-lain. Aku sudah seperti latihan mental, belajar menghadapi birokrasi.

Singkat cerita, aku memberanikan diri menghubungi Ibu Kasie, beliau menjawab singkat memintaku datang sore hari. Ibunya akhirnya luluh dan bersedia membantuku membuatkan akta dwibahasa dengan konsekuensi aku harus mengurusnya dari awal dan kehilangan akta kelahiran sebelumnya. Aku kemudian mengisi form, mencari saksi yang satu kecamatan denganku, meminjam ktp untuk difotokopi, lalu membuat surat pernyataan, meminta ibuku tanda tangan di atas materai, semuanya persis seperti langkah awal pembuatan akta kelahiran.

Aku terhenti di pengisian form bagian akhir, aku membutuhkan tanda tangan lurah/ kepala desa. Esok paginya, aku melangkah ke kantor beliau. Beliau terlihat sedang menyapu ruangan sendiri, salut. Sementara yang menerimaku adalah sekretaris desanya. Setelah mengecek berkasku, beliau bertanya, “Lho, nggak punya e-ktp?” “Iya Pak, saya nggak pernah punya sudah dari tahun 2013.” Beliau mengangguk, “Coba temui Bu Ida di ruang depan habis ini.”

Aku mengikuti instruksi sang sekretaris desa. Di sana, kesemua orang sedang bercanda dan memintaku jangan sedih hanya karena tidak punya e-ktp. “Lho jangan sedih, bapak ini nggak punya e-ktp sampai 7 tahun, Dek!” kata Bu Ida. “Kembali ke sini, dua minggu lagi ya, InsyaAllah sudah jadi.” Aku sebenarnya tidak pernah mengganggap perkataan Bu Ida, apalagi selesai dalam dua minggu, aku sudah sering sekali dikecewakan birokrasi. Tapi, apa salahnya mencoba? Aku sengaja melebihkan waktu pengambilan e-ktp-ku hingga satu bulan. Ternyata memang benar jadi! Luar biasa, padahal skalanya kelurahan, pelayanannya justru jauh lebih baik dan menyenangkan daripada kecamatan dan kabupaten.

Dalam euforia akhirnya punya identitas seperti orang-orang lain, aku kembali ke kabupaten. Di sana pun ternyata akta dwibahasaku sudah rampung. Lengkap sudah penantianku, walaupun sebenarnya tidak begitu. Prosedur selanjutnya adalah legalisasi akta dwibahasa di Kemenkumhan, Kemenlu, dan Kedubes Belanda. Aku berdebat panjang dengan Ibu Kasie soal aku yang butuh spesimen tanda tangan Kadinas. Ini berujung pada “Akta kelahiran asli tidak boleh dicap/ ditandatangani, termasuk di halaman baliknya, yang berhak hanya Dispendukcapil dan Pengadilan.”

Iya ya! Ternyata yang dilegalisasi adalah dokumen asli, ini membuatku pusing karena aku menghargai pendapat ibunya yang sangat menjunjung tinggi peraturan. Aku telepon Kemenkumham hingga Kedubes, jawabannya sungguh tidak memuaskan. Kudapatkan jawaban setelah mengirim email ke universitas –kami tidak perlu membawa akta kelahiran. Ini kebodohan yang kesekian, yang sebenarnya sudah ingin dihentikan ayah ibuku sejak awal namun aku menolak.

Ya karena aku tahu terlambat, tahap ini akan kuteruskan hingga mendapatkan spesimen tanda tangan Kadinas. Seperti yang kau baca di depan, prosesnya pun tidak mudah –aku kembali bolak-balik, sama seperti saat mengurus akta dwibahasaku.

Di balik semua ini, aku berusaha menikmati prosesnya. Kalau aku tidak bolak-balik ke kantor dinas, mungkin aku tidak tahu kalau aku bisa mengusahakan e-ktp-ku jauh lebih cepat dan akhirnya memilikinya mutlak. Aku yakin masih ada hal baik dan positif di balik ‘keribetan’ yang aku ciptakan sendiri setelah ini, tunggu saja Kamis setelah aku dapatkan spesimen tanda tangannya –keyakinan ini untuk menguatkan diri sendiri, hahaha.

Jadi kawanku, belajarlah untuk selalu mengambil hikmah baik dalam setiap ujian/ tantangan/ hambatan dan melihat dari sisi yang paling positif –karena hikmah baik itu selalu ada, hanya berbeda waktu –tidak mungkin datang dengan cepat; dan melihat dari sisi yang paling positif selalu bisa diusahakan –hanya perlu mengubah sudut pandang sedikit.

My Instagram