(dari kiri ke kanan: Ifa-Dyah-Fiya-Intan-Fai) |
Hujan, padahal sudah bulan keenam. Deras dan macet
adalah korelasi yang tidak terlalu baik untuk Jumat malam. Aku memandangi
butiran-butiran hujan dari dalam mobil seorang rekanan ayah yang menjemputku di
bandara, perjalanan konferensi lintas kota pertamaku pasti akan menyenangkan.
Saat kubilang belum makan, aku malah diajak makan nasi padang dengan lauk ayam
gulai.
Menerobos jalan dan beberapa kali berputar, aku
sudah disambut oleh dua orang seumuranku di depan gang. Ketuanya langsung
bahkan yang memanggul tas koperku, sementara gadis sunda berambut panjang yang
kemudian menjadi model untuk sebuah kosmetik itu mengajakku ngobrol –dia adalah
LO-ku. Aku minta maaf karena akhirnya aku datang larut sekali.
Konferensinya besok, dua hari. Di kamar berukuran
kecil itu sudah ada beberapa orang yang akan menginap bersamaku di kamar
LO-nya. Memang konferensi pemuda begini yang mahal adalah pengalaman bertemu
dengan banyak orang baru, tidur berjubel bersama, hingga mengantri kamar mandi –hotel
menyebabkan kami individual. Mereka menyambutku yang separuh kuyup dihinggapi
air hujan.
Menjelang pagi, kami belum juga tidur. Fai (Tel-U)
yang ternyata adik kelas SMA-ku walaupun kami tak bertemu, Diah (IPB) yang
bahkan membuka kursus biola kecil-kecilan, dan Fiyah (saat itu masih SMA di
Lombok) yang membuka mataku kalau kita bisa sedekat itu dengan mimpi (baca:
artis favorit) membuatku betah terjaga. Kami berbincang kemanapun hingga sampai
di program Exchange-ku dua bulan berikutnya.
“Bener-bener perjuangan deh ini bisa ke Taiwan,
sampai satu bulan.”
“Oh ya kak?” tanya Fai antusias.
Aku tersenyum ketika yang lain memintaku
menjelaskan.
“Aku isi form-nya tanggal 31 Desember tahun lalu
karena itu batas akhirnya. Di kamar kosan, sendirian karena yang lain pulang
kampung, hujan deras, ponsel sepi. Ngisinya pelan-pelan banget karena takut,
hampir semua required/ mandatory gitu jadi kita nggak bisa skip ke bagian
berikutnya gitu aja.
Anehnya, aku justru berhenti lama banget di bagian
passport number, aku nggak tahu mau ngisi apa soalnya belum punya passport.
Nanya ke CP-nya via email, belum ada respon, mungkin karena itu malam tahun
baru banget. Dilemanya adalah ini kesempatan langka sekali seumur hidup mungkin
dan aku cuma berhenti di isian ini! Di sisi lain, aku nggak mau nggak jujur di
setiap perjuanganku.”
“Akhirnya?”
“Aku browsing passport number itu seperti apa sih,
terus aku buat polanya. Ya udah pasti salah sih, terus aku isi. Pas ngisi, aku
minta maaf ke Tuhan dan janji akan menginfokan ke ybs passport numberku sebenarnya
setelah punya passport beneran. Aku sadar sih ini nekat, tapi rasanya sayang
banget kalau dibiarin menguap gitu aja, kesempatan mahal.”
“Iya, ini mah nekat banget.”
“Pas pengumuman, aku... diterima, wah bahagia
banget deh hari itu! Pas banget CP-nya akhirnya ngebalas email aku, katanya
soal passport number itu nggak apa, nanti dikabarin aja kalau udah ada yang
sebenarnya.”
Ekspresi mereka semua berubah menjadi lebih
girang.
“Wah untung banget ya kak! Coba kalau nggak gitu,
nggak jadi ke luar negeri.”
Lagi-lagi soal idealisme sih. Kalau aku cerita ke
beberapa teman, mereka jelas akan menganggap ini tidak masalah. Tapi karena aku
sadar hidupku selama ini hanya hitam dan putih, aku merasa menemukan kesulitan
jika masuk area abu-abu.
Beberapa bulan setelahnya
Fai mengontakku, katanya dia punya cerita penting.
Sepenting itu hingga aku tidak bisa berkonsentrasi pada praktikumku.
“Ada apa, Fai?”
“Kak, aku mau ngucapin makasih banyak!”
“Iya?”
“Aku keterima konferensi di Filipina.”
“Wow, keren!!!”
“Ternyata pertemuan kita di kamar kos mbak LO itu
ada maksudnya, kak! Aku pas apply juga nggak punya passport, tapi sayang banget
kalau berhenti di situ. Aku ikutin cara kakak, terus aku dapat kesempatan itu.”
Aku sampai lupa bagaimana ekspresiku, yang jelas
aku tidak pernah lupa bagian cerita ini hingga hari ini. Benar saja, karena
setelah itu Fai berhasil melanglang buana ke berbagai negara sampai ke
Australia –dimulai dengan langkah kecilnya ke Filipina.
Aku jadi ingat kata-kata seorang Bapak saat
pembekalanku, ‘teruslah melakukan sesuatu, teruslah berbuat baik, ceritakan
entah didengar atau tidak, karena kita tidak pernah tahu di bagian/ titik mana
kita bisa menginspirasi.’