Passport

(dari kiri ke kanan: Ifa-Dyah-Fiya-Intan-Fai)
Jakarta, 8 Juni 2012
Hujan, padahal sudah bulan keenam. Deras dan macet adalah korelasi yang tidak terlalu baik untuk Jumat malam. Aku memandangi butiran-butiran hujan dari dalam mobil seorang rekanan ayah yang menjemputku di bandara, perjalanan konferensi lintas kota pertamaku pasti akan menyenangkan. Saat kubilang belum makan, aku malah diajak makan nasi padang dengan lauk ayam gulai.
Menerobos jalan dan beberapa kali berputar, aku sudah disambut oleh dua orang seumuranku di depan gang. Ketuanya langsung bahkan yang memanggul tas koperku, sementara gadis sunda berambut panjang yang kemudian menjadi model untuk sebuah kosmetik itu mengajakku ngobrol –dia adalah LO-ku. Aku minta maaf karena akhirnya aku datang larut sekali.
Konferensinya besok, dua hari. Di kamar berukuran kecil itu sudah ada beberapa orang yang akan menginap bersamaku di kamar LO-nya. Memang konferensi pemuda begini yang mahal adalah pengalaman bertemu dengan banyak orang baru, tidur berjubel bersama, hingga mengantri kamar mandi –hotel menyebabkan kami individual. Mereka menyambutku yang separuh kuyup dihinggapi air hujan.
Menjelang pagi, kami belum juga tidur. Fai (Tel-U) yang ternyata adik kelas SMA-ku walaupun kami tak bertemu, Diah (IPB) yang bahkan membuka kursus biola kecil-kecilan, dan Fiyah (saat itu masih SMA di Lombok) yang membuka mataku kalau kita bisa sedekat itu dengan mimpi (baca: artis favorit) membuatku betah terjaga. Kami berbincang kemanapun hingga sampai di program Exchange-ku dua bulan berikutnya.
“Bener-bener perjuangan deh ini bisa ke Taiwan, sampai satu bulan.”
“Oh ya kak?” tanya Fai antusias.
Aku tersenyum ketika yang lain memintaku menjelaskan.
“Aku isi form-nya tanggal 31 Desember tahun lalu karena itu batas akhirnya. Di kamar kosan, sendirian karena yang lain pulang kampung, hujan deras, ponsel sepi. Ngisinya pelan-pelan banget karena takut, hampir semua required/ mandatory gitu jadi kita nggak bisa skip ke bagian berikutnya gitu aja.
Anehnya, aku justru berhenti lama banget di bagian passport number, aku nggak tahu mau ngisi apa soalnya belum punya passport. Nanya ke CP-nya via email, belum ada respon, mungkin karena itu malam tahun baru banget. Dilemanya adalah ini kesempatan langka sekali seumur hidup mungkin dan aku cuma berhenti di isian ini! Di sisi lain, aku nggak mau nggak jujur di setiap perjuanganku.”
“Akhirnya?”
“Aku browsing passport number itu seperti apa sih, terus aku buat polanya. Ya udah pasti salah sih, terus aku isi. Pas ngisi, aku minta maaf ke Tuhan dan janji akan menginfokan ke ybs passport numberku sebenarnya setelah punya passport beneran. Aku sadar sih ini nekat, tapi rasanya sayang banget kalau dibiarin menguap gitu aja, kesempatan mahal.”
“Iya, ini mah nekat banget.”
“Pas pengumuman, aku... diterima, wah bahagia banget deh hari itu! Pas banget CP-nya akhirnya ngebalas email aku, katanya soal passport number itu nggak apa, nanti dikabarin aja kalau udah ada yang sebenarnya.”
Ekspresi mereka semua berubah menjadi lebih girang.
“Wah untung banget ya kak! Coba kalau nggak gitu, nggak jadi ke luar negeri.”
Lagi-lagi soal idealisme sih. Kalau aku cerita ke beberapa teman, mereka jelas akan menganggap ini tidak masalah. Tapi karena aku sadar hidupku selama ini hanya hitam dan putih, aku merasa menemukan kesulitan jika masuk area abu-abu.

Beberapa bulan setelahnya
Fai mengontakku, katanya dia punya cerita penting. Sepenting itu hingga aku tidak bisa berkonsentrasi pada praktikumku.
“Ada apa, Fai?”
“Kak, aku mau ngucapin makasih banyak!”
“Iya?”
“Aku keterima konferensi di Filipina.”
“Wow, keren!!!”
“Ternyata pertemuan kita di kamar kos mbak LO itu ada maksudnya, kak! Aku pas apply juga nggak punya passport, tapi sayang banget kalau berhenti di situ. Aku ikutin cara kakak, terus aku dapat kesempatan itu.”
Aku sampai lupa bagaimana ekspresiku, yang jelas aku tidak pernah lupa bagian cerita ini hingga hari ini. Benar saja, karena setelah itu Fai berhasil melanglang buana ke berbagai negara sampai ke Australia –dimulai dengan langkah kecilnya ke Filipina.
Aku jadi ingat kata-kata seorang Bapak saat pembekalanku, ‘teruslah melakukan sesuatu, teruslah berbuat baik, ceritakan entah didengar atau tidak, karena kita tidak pernah tahu di bagian/ titik mana kita bisa menginspirasi.’

My Instagram