Belum Ada Judul

Aku pernah sesekali dalam keadaan kalut, banyak pikiran. Selalu aku katakan pada diriku, jangan dipaksa hari ini, coba dibawa tidur saja, mungkin yang tidak terlalu penting akan mengendap menyisakan hal yang perlu dipikirkan. Dan ya, hampir selalu berhasil –ini kujadikan saran untuk temanku yang sedang marah, kalau dia tidak bisa marah secara elegan (mendoakan orang yang menyebabkannya marah), dia selalu bisa tidur dahulu untuk meredakan emosinya entah karena orang tersebut benar menyebalkan atau memang banyak pikiran saja.

Dalam keadaan seperti ini, biasanya aku cuma duduk diam saja di karpet pojok ruang tengah. TV hidup, ibu duduk di lantai mengoreksi skripsi anak bimbingnya –sofa dijadikan meja. Ayah hari itu tidak bersama kami, beliau duduk di depan laptop di ruang kerja. Pikiranku mengelana kemanapun karena kuakui aku adalah seorang overthinking yang handal, namun sayangnya pikiranku justru tak mempertemukanku dengan solusi.

“In, sini sebentar!” panggil ayah dari ruang kerja. Sebenarnya ini memang ruang kerja ibuku, banyak buku dan tumpukan kertas mahasiswanya di sana, namun seiring waktu, ibuku malah sering membaca di ruang tengah dengan keadaan TV menyala –entah bagaimana beliau berkonsentrasi, itu salah satu yang kukagumi. Aku mendatangi ayahku dengan dugaan yang kemudian jadi benar. Tidak mungkin ayah memanggil kalau tidak ada hubungannya dengan internet, printer, dan aplikasi yang beliau gunakan. Kadang memintaku membuatkan faktur pajak dengan aplikasi e-faktur, kadang memintaku mengubah tanda tangannya menjadi biru, memang kadang hingga sering, ayahku butuh aku. Hari itu ayahku menanyakan lagi hal yang sudah ditanyakan kemarin dan kemarinnya lagi, pdf ke jpg, jpg ke pdf, dll. Helaan napas panjang ini murni karena aku memang kalut dan lelah.

Aku kembali ke tempatku di pojokan. Lalu ibuku memanggilku, memintaku memodifikasi dokumennya hingga mengirimnya karena hari ini deadline. Menurut ibuku, aku adalah seorang IT supervisor –keren juga! Lalu ayahku memanggilku lagi, lalu ibuku, lalu ayahku, lalu ibuku, tapi kalau dihitung-hitung rasanya lebih banyak ayahku. Aku lama-lama menjadi sedikit kesal karena aku sudah menjelaskan semuanya kemarin dan tadi, aku sungguh tidak benar-benar kesal karena beliau ayahku. “Papa berdiri, intan aja yang duduk. Ini mau diapain?” Kupikir mungkin lebih baik kuselesaikan saja langsung, biar cepat. Di satu sisi aku paham mungkin ayahku berusaha mandiri karena sebentar lagi aku menjadi sangat jauh dengannya.

Setelah kukerjakan, ayahku memintaku langsung mengirim pekerjaan itu ke email –dalam hati aku bertanya, bukannya ini bisa dikerjakan sendiri? Aku terhenti di bagian password. “Apa password-nya, Pa?” Ayahku menjawab. Di situ, pada jam itu, pada kesempatan itu juga, semua kekalutan yang hampir berdampak pada sikap ayah kepadaku sirna sudah. Password emailnya adalah gabungan namaku, tanggal lahirku, dan semua tentang aku. Ya Tuhan, aku ini sungguh kotor. Tolong maafkan aku Tuhan karena aku hampir kesal pada ayahku, padahal beliau bisa memilih apapun untuk dijadikan password yang terus diingat, namun beliau memilih aku.

Semenjak saat itu, aku selalu menunggu-nunggu kapan ayahku memanggilku untuk membantunya, kapan ibuku bahkan sampai naik ke kamar atas mencariku dengan membawa laptop untuk menyelesaikan masalah kenapa beliau tidak berhasil buka browser. Ibuku pun ternyata seperti ayahku, dalam bentuk yang lain. Ada aku dan adikku di foto dompetnya, tidak pernah diganti. Iya, ibu pun memikirkan aku –karena fotoku lebih besar dari adikku, fotoku berukuran 4 x 6 sementara dia hanya 3 x 4 –oh, bukan hal penting, aku sedang bercanda.

Kupikir semua orang tua di dunia sama, cintanya sungguh besar kepada anak-anaknya. Hanya kita saja yang menolak mengerti atau menyamakan bahwa bentuk cinta hanya A atau B. Menurutku, seperti ini sudah lebih dari cukup. Mengingat ini setiap hari membuatku terus merasa beruntung dan bersyukur. Semoga ayah ibu sehat selalu, semoga aku selalu bisa membantu mereka.

My Instagram