Perjalanan dari Bali ke Surabaya kali ini sendirian dengan bawaan yang
tidak terlalu berat, namanya juga pulang dari rumah ke rumah. Di pesawat pun
aku hanya tidur, seperti biasa, sekaligus merayakan kelelahan akibat berlari
jauh ala panggilan last call –maklum, rumah sekarang jadi jauh sekali dari
bandara, biasalah proyek underpass. Kantong berisi roti dan air minum gelas itu
aku pangku dalam lelap 30 menitku.
Syukurlah temanku baik sekali, dia bersedia menjemputku, untung saja
rumahnya dekat. Sembari menunggu, aku beranjak memperbaiki rambutku di kamar
kecil. Pintu keluarnya mendadak padat, pasti pesawat baru menurunkan penumpang,
kami jadi sedikit mengantri menunggu perpindahan. Sela-sela waktu menunggu
kugunakan sekenanya. 10 detik aku mengamati seorang mbak-mbak bersandar di dinding,
memegangi alat pel tongkat panjang, rambutnya digelung, pakaiannya merah
birunya khas seperti kawan-kawan di sudut lain. 5 detik kemudian aku tersenyum
padanya dan mengucapkan terima kasih, beliau pun membalasnya hangat.
1 detik melangkah ke luar dan menoleh sedikit ke samping, aku
mendengar kalimat “ini buat mbak ya, belum saya makan kok.” Bungkus roti dan
air minum yang dibawa seseorang kemudian berpindah tangan ke mbak-mbak CS. Yang
aku baru sadar kemudian, seseorang yang memberikan kantong makanannya ternyata
sepenerbangan denganku –kantong kami sama, dan ternyata aku pun memegang kantong
itu di tangan kananku. Menepi, aku memandangi kantongku. Tidak terbayangkan,
kebaikan datang secara singkat, dari siapa saja, untuk siapa saja, dengan cara
apapun, dan bisa sangat sederhana.
***
Ternyata antri gerobak nasi goreng andalan keluargaku kali ini lumayan
panjang. Aku lebih senang memanggilnya mas walaupun anaknya sudah beranjak
masuk SMP, beliau sudah memperingatkanku ini akan lumayan lama. Tapi kuyakin
kau sepertiku, semakin ini lama, berarti masakannya memang juara. Tak apa, aku
bisa menunggu sambil duduk di bangku ujung.
Kuusir kebosananku dengan mengambil foto proses memasak nasi goreng,
dari belakang, sambil memperhatikan racikannya. Tak jauh beda sebenarnya dengan
buatanku, mungkin kami hanya berbeda di jam terbang. Foto itu kukirim ke seseorang,
semoga suatu hari nasi goreng 10.000 itu bisa membawanya kemari.
Datanglah seorang bapak dan anak dari jauh, turun dari sepeda motor.
Mereka menyapa mas nasi goreng dan anak ABG-nya yang sudah beberapa hari diajak
untuk membantu preparasi. Aku mencuri dengar, sepertinya tetangga, karena
obrolannya cair sekali. Bisa jadi bukan karena memang obrolan seru hanya
terjadi karena mereka tetangga? Pelanggan setia juga mampu. Tak lama anak sang
bapak itu pergi ke toko tak jauh dari gerobak itu dan kembali dengan minuman
segar yang sudah diminum seperempatnya.
Berbincang tak terdengar dengan bapaknya, anak itu pamit pergi lagi ke
toko sementara mas nasi goreng dan anak ABG-nya masih terheran-heran mendengar
jawaban anak itu ketika ditanya akan kemana, dijawab pendek saja, “mau beli
minum, …haus” –hanya itu yang berhasil kudengar. Ya iya, tangan kanannya
memegang botol, mana mungkin mau kembali ke toko untuk membeli minuman lagi
dengan alasan haus. Aku tak jadi sibuk dengan ponselku, anak dan bapak itu
menarik perhatianku penuh.
Lari-lari kecilnya berakhir dengan memberikan dua botol air minum
dingin ke mas nasi goreng. “Lho ini apa?” “Iya masa nggak haus? Surabaya panas
gini, kena kompor masak terus.” Intinya seperti itu, mereka semua tertawa. Anak
mas nasi goreng itu langsung membuka tutupnya, berarti benar panas kota dan
kompor ini menyatu menjadi haus. Aku tersenyum, pemandangan yang menyenangkan.
Aku meraba kantong kiriku, di sana pun ada uang lima ribuan yang bisa digunakan
untuk membeli dua botol air minum dingin merek apa saja. Tidak terbayangkan,
kebaikan datang secara singkat, dari siapa saja, untuk siapa saja, dengan cara
apapun, dan bisa sangat sederhana.
Kebaikan itu bisa sangat sederhana, aku selalu bisa mengusahakannya, sebenarnya, kalau aku mau.