Dari dulu aku tidak punya barang branded, apalagi sepatu. Sepatuku
biasanya murah sekali, tiga bulan sekali pasti sudah rusak. Entah bagaimana aku
memakainya, pasti aku memang terlalu banyak jalan dan kurang memperhatikan kekuatan
sepatu jika kubawa banyak berkeliling.
Sejak awal kuliah, aku sering membantu event kampus –paling sering
dalam posisi MC. Kebetulan aku bisa, kesempatan selalu aku manfaatkan dengan
baik. Ternyata, untuk sebagian besar event yang diadakan kampus, mahasiswa yang
membantu akan mendapatkan uang saku. Padahal aku hanya niat membantu dan tidak
mengharapkan apapun, tapi aku cukup senang, aku menghasilkan uang sendiri dari
kemampuanku. Amplop demi amplop aku kumpulkan di laci meja, isinya Rp 50.000,-
sampai paling banyak Rp 100.000,-, tidak pernah aku gunakan. Semua hanya aku
kumpulkan, bahkan sampai ke amplopnya, kuanggap kenang-kenangan.
***
Suatu hari sepatuku jebol lagi, kesekian kalinya. Ibuku sampai
menggeleng, tapi mengiyakan kalau bahannya sangat tipis –jelas tidak awet.
Akhirnya ibuku menyarankan sesuatu yang baik. “In, gimana kalau uang yang sudah
Intan kumpulkan dipakai untuk membeli sepatu? Anggap itu apresiasi diri, khan
sudah bisa mengumpulkan uang sendiri, biar lebih semangat keliling besok-besoknya.”
Iya, kupikir sudah waktunya.
Ditemani ayah, ibu, dan adikku, aku berkeliling melihat sepatu dan
terhenti cukup lama di sepatu model itu. Aku suka sepatu yang tertutup tapi
tidak full, lalu ada pengaitnya di tengah agar tidak sering kulepas sembarangan.
Membeli sepatu itu bukan keputusan yang buruk, walaupun harganya mungkin sangat
mahal –ini sepatu termahal yang kupunya. Sepatu ini punya ceritanya –yang
jelas, dia selalu mengingatkan aku untuk terus semangat mengembangkan diri dan
menjalani passion, nanti uang/ materi yang akan datang sendiri dalam bentuk
yang tidak terduga-duga.