Kehendak Tuhan

Grupku yang sebenarnya tidak terlalu sepi itu berdering. Pesan pembukanya terbaca ‘alhamdulillah’ –sama sekali tidak nyambung dengan balasan terima kasihku karena mereka semua mendukungku menuju mimpi yang sudah lama aku letakkan 5 cm di depan mukaku. Kuputuskan membacanya setelah keesokan hari tiba, mendapati kenyataan mereka memindahkan keramaian itu ke comment IG seorang temanku, yang menjadi target.

Penasaran ini membuatku sedikit kelimpungan karena aku tak juga memutuskan meng-install IG di ponselku. Setelah bergelut dengan gadget tua berwarna biru, aku melihat ucapan ulang tahun untuk seseorang yang dilaminating dengan latar belakang air terjun di belahan dunia Brazil. Aku tersenyum lebar sekali, kedua temanku bersatu! Mungkin yang kemudian menjadi iya setelah kupastikan. Begini ya kalau Tuhan sudah berkehendak.

Dalam kebahagiaan sebagai teman, aku kemudian mulai menganalisis. Ternyata banyak sekali aspek yang mungkin tidak mirip namun bisa dibilang kecocokan. Lebih tepatnya chemistry. Aku melanjutkan mengingat-ingat, ternyata sang teman laki-laki dan perempuanku ini memang tepat sekali jika bersama, walaupun tadinya tidak ada satupun dari kami, kawan-kawannya, yang menyangka mereka akan bersama –malah kupikir teman laki-lakiku akan berakhir dengan teman lain yang tidak berada satu lingkaran dengan kami, begitupun sebaliknya.

Lalu bagaimana kehendak Tuhan terhadap hal ini bekerja ya? Aku benar-benar ingin menjadi agen Tuhan untuk hal ini. Sedikit memaksa sih karena sekali lagi, siapa sih aku? Dulu aku pernah seperti mendahului Tuhan, namun sekarang ego sudah jauh kuturunkan, aku sudah menerima kalimat ‘begini ya kalau Tuhan sudah berkehendak’ atau ‘Tuhan lah yang berkehendak’.

Di pertengahan 2015, aku punya seorang sahabat laki-laki yang entah badai atau gempa bumi pun aku tidak rela melepaskannya. Semua hal yang aku geluti akan didukungnya, bahkan untuk sesuatu seperti menyanyi, pintuku dibuka olehnya. Sahabat laki-lakiku ini santun sekali dan mungkin karismatik, berdasarkan fakta, sudah banyak perempuan jatuh cinta padanya namun tak digubris. Dia punya banyak pertimbangan, yang aku tahu jelas apa. Dalam kesedihan, aku berjanji mempertemukannya dengan gadis dengan spesifikasi mendekati aku.

Di pertengahan 2016, aku mengenal seorang perempuan tangguh yang kemudian menjadi sahabatku karena kami ternyata memperjuangkan hal yang sama. Berbagai kesempatan menjadikan kami sangat dekat dan dia akhirnya menjadi sering bercerita tentang hidup dan keinginannya mendapatkan seseorang yang mampu menjaganya. Saat berpikir random sambil menatap mangkuk bakso yang dipegangnya –ya, aku menemaninya makan sore di samping Kebun Binatang Surabaya, aku tiba-tiba membayangkan sahabat laki-lakiku adalah orang yang tepat. Aku yakin perasaan bersalahku akan termaafkan dengan sendirinya jika mereka bisa bersama.

Dalam diskusiku dengan Tuhan sehari-hari, aku selalu mencantumkan nama sahabat laki-lakiku, aku berdoa agar dia segera bahagia, semoga aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaannya. Hari itu saat niatku sudah bulat untuk mendekatkan keduanya, aku mendapat kabar yang justru tak langsung disampaikan oleh sahabat laki-lakiku sendiri. Dia sudah bersama seseorang...

Aku menangis karena aku tidak tahu mengapa aku seolah tidak senang, padahal itu yang aku harapkan. Aku mungkin menangis karena bukan perempuan pilihanku yang bersamanya, aku mungkin menangis karena aku menyesal tidak mendekatkan keduanya dari dulu. Dalam kesedihan, aku memohon pada Tuhan agar mereka bisa bertemu sekali saja, karena aku yakin sekali mereka pasti bersatu! Tanpa kusadari, hidup kupenuhi dengan perasaan bersalah, aku tidak berhenti menyalahkan diriku sendiri seolah-olah tidak bersamanya mereka adalah sebuah kesalahan.

Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar bahwa kedua sahabatku akan menikah tiga bulan lagi, dengan pilihannya masing-masing...

Bulan yang sama? Dengan orang yang berbeda? Bagaimana mungkin Tuhan? Apa mungkin Tuhan ingin menamparku agar sadar bahwa inginku terlalu tinggi, inginku melampaui kehendakNya? Bisa saja! Aku sebenarnya selalu paham dengan konsep ini, namun merasakan hingga sedih sendiri membuatku benar-benar sadar bahwa dua orang baik belum tentu bisa bersatu, bahwa orang baik tidak hanya berjumlah dua, dan ketika kedua teori ini bersatu, kita akan sampai pada kesimpulan: teruslah berbuat baik karena jika kita tidak ditemukan orang baik, maka kita akan menemukan orang baik.

Pilihan sahabat laki-laki dan perempuanku jelas orang baik, aku saja yang menolak menyebut mereka baik karena aku hanya hidup dalam egoku, karena kemarin aku tiba-tiba lupa bahwa Tuhan lah yang berkehendak.  Bagaimana dengan hari ini, masih lupa? Syukurlah sudah ingat, sudah ikhlas! Selamat malam minggu!

My Instagram