Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan kubuat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu
Karena hanyalah hatimu
Rumah terindah
Ku kan pulang tunggu aku di depan pintumu
Cintamu padaku tuntun jalanku
Telah letih jalanku dan terasa berat
Ku kan pulang ke hatimu, rumah terindah
Ku pulang ke hatimu
Rumah terindah
Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan kubuat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu
Karena hanyalah hatimu
Rumah terindah
Cukup banyak kesalahan kubuat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu
Karena hanyalah hatimu
Rumah terindah
Ku kan pulang tunggu aku di depan pintumu
Cintamu padaku tuntun jalanku
Telah letih jalanku dan terasa berat
Ku kan pulang ke hatimu, rumah terindah
Ku pulang ke hatimu
Rumah terindah
Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan kubuat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu
Karena hanyalah hatimu
Rumah terindah
Farmasi semester 7, aku sekarang. Kimia medisinal,
farmakoterapi, farmasetika sediaan steril, drug delivery system, farmasi
masyarakat, problem based learning, metodologi penelitian, dan proposal. Apa
dayaku? Ditambah lagi kewajiban mengurusi komunikasi dan informasi yang
jelas-jelas passion. Tak apa, ini duniaku.
Sudah 3 tahun aku kuliah di farmasi, dan sensasinya beragam.
Tak bisa lagi kujelaskan, aku tak tahu kata tertepat. Yang aku tahu pasti dalam
doaku, aku selalu berdoa “Tuhan, semoga satu hari sama dengan lebih dari 24
jam, berapapun.” Aneh ya? Dan sesaat setelah aku sadar tentang rengekanku yang
menjurus pada tidak bersyukurnya diriku, doanya kuganti, “Tuhan, ikhlaskan aku
pada hal-hal yang jadi kehendakMu,” lalu kemudian beranjak kembali berteman
tugas.
“Kenapa adikmu nggak masuk farmasi juga, Incha?” tanya
teman-temanku.
“Ah jangan, aku takut dia kehilangan masa muda.”
“Hahaha, jadi cukup kakaknya aja ya?” timbal mereka.
Aku cukup senyum saja, mereka bisa menyimpulkan. Tapi kalau
dipikir lagi ke belakang, sebenarnya aku menawari adikku masuk farmasi beberapa
kali saat dia kalut dan tak kunjung punya pilihan. Farmasi bergengsi kok, ilmu
IPA saat SMA jelas jelas jelas terpakai, paketnya lengkap mulai dari
matematika, biologi, kimia, dan fisika. What else? Adikku sendiri yang tak mau
berurusan dengan kimia lama-lama, passionnya IT, mungkin itu yang terbaik.
Lalu apa pertanggungjawabanku atas jawaban ‘kehilangan masa
muda’? Semua salahmu lah, tak bisa bagi
waktu. Iya sih, aku sendiri yang tak bisa memilah-milah waktu bersenang,
waktu bermain, waktu tidur, waktu tugas, waktu belajar, waktu berdoa.
Bahagia itu benar-benar sederhana, aku akhirnya bersatu lagi
dengan keluargaku setelah 3 tahun menunggu. Maksudnya? Iya, kini ayah, ibu, dan
adikku nyata di Surabaya. Dengan kata lain, aku akan sering pulang ke rumah.
Tadinya, aku sudah melewati 3 tahun penantianku dengan diam sendiri di kos, yang
hanya berjarak 5 menit dengan motor. Semua berjalan dengan sangat baik,
kuliah-praktikum-diskusi-tugas-rapat-karaoke-pergi-sembahyang, berakhir
memuaskan. Itu semua karena aku tak punya masalah waktu.
Jadi sebenarnya apa yang ingin aku sampaikan? Dari tadi
berputar-putar sekitar, aku jadi tak sadar awan putih di depan kamar sudah
berarak menganan. Adikku kini juga maba, butuh adaptasi, ayah ibu mendukungnya
tinggal sementara, di kosku, dan aku juga masih ber-mindset akan tinggal terus
di kos, hanya sering pulang. Semua tak lagi sama saat ibuku bilang “Mama punya
anak dua. Kalau semuanya nge-kos, mama papa sendirian di rumah, untuk apa? Mama
seperti nggak punya anak.” Mendengar itu, aku terenyuh, aku memutuskan pulang,
selalu pulang, merelakan kamar kosku untuk adikku. Semoga aku jadi anak sulung
dan kakak yang baik, astungkara.
Apa masalahnya kalau pulang? Harusnya aku senang karena tak
lagi punya masalah maag, tak lagi mati dalam kesepian, fully charged dengan
melihat senyum ayah ibu, tinggal di kamar biruku yang super duper nyaman, dan
aku diijinkan pakai mobil. Kau tahu, rumahku ada di pinggiran Surabaya, sedikit
lagi dari Bundaran Waru, pusat kemacetan. Sebenarnya jarak rumah kampus hanya
17 km, hanya saja aku tak pernah sampai dalam 45 menit sekalipun, aku hampir
selalu terjebak macet tak bergerak hingga 2 jam. Tuhan, aku terlalu sering
duduk dan hampir putus asa.
Sementara farmasi tetap akan menjadi background-ku
selamanya. Aku juga akan punya tugas setiap hari. Aku sampai rumah malam hari
dan kehilangan 87% energiku karena macet, aku tak punya solusi. Aku masih harus
mengerjakan tugas setiap hari, harus belajar juga agar tak terseret lebih dalam
ketidaktahuan. Itulah mengapa, aku rasa aku butuh waktu lebih dari 24 jam. Aku
bangun 04.00, berangkat sekitar 05.45 agar tak terjebak macet, dan pulang di
atas 18.00, ya masih harus berkutat macet hingga maksimal 2 jam, sampai rumah
20.00, sembahyang tak boleh lupa, lalu mengerjakan tugas hingga dini hari.
Pertanyaannya, kapan aku tidur?
Mungkin lagu kesukaanku ini akan jadi jawaban tertepat yang
mendamaikan. Perlahan memadamkan api diri yang sering disulut keadaan, apalagi
kemacetan. “Ku akan pulang ke hatimu, rumah terindah.” Aku selalu tahu, rumah
adalah tempat ternyaman. Aku berusaha memagnetkan diri ke sisi positifnya aku
tinggal di rumah. Aku merasa sangat dekat dengan Tuhan, melalui aroma dupa itu,
aku tenang dan sanggup bergayatri mantram setiap hari. Aku merasa bahagia saat
ibu ayahku menyambutku di depan pintu. Aku hanya belum bisa adaptasi, jadi
pastilah ini tak lama. Biarlah, semua orang punya waktu efektif mereka sendiri.
Aku bukannya mengorbankan waktu, aku hanya menggunakan waktu yang tidak
kugunakan sebelumnya untuk melatih keikhlasan.