“Sudah pernah ke luar negeri? │Sudah, dalam mimpi!”
“Berapa kali ke luar negeri? │Entah ya, yang jelas aku mimpi ke luar negeri
berkali-kali, tujuannya beda-beda.”
Jangan meremehkan jawaban ini, jawaban
‘percaya diri’ seperti inilah yang ternyata berhasil membawaku pergi ke luar
negeri. Jawaban seperti ini kemudian tak lagi dipanggil mimpi, mereka lebih
tepat dikatakan sebagai impian. Ya, setidaknya begitulah kata Buku Best Seller
luar biasa yang kubaca kemarin siang, 9 Matahari.
Aku menutup telinga rapat-rapat dari celetukan
bahwa ke luar negeri itu hanya buang-buang uang, terutama bagi mahasiswa dengan
level bahasa pas-pas-an. Makanya, aku berusaha tidak pergi dengan uang ayah
ibuku dan belajar mengadaptasikan diri dalam bayangan mulai dari H-3 bulan.
Ini semua karena dua kalimat panjang Pak
Satria Dharma –Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), yang menantangku, menantang
seluruh mahasiswa : “Saya menantang seluruh mahasiswa, sebelum terlambat,
apalagi sudah di semester akhir. Sebelum lulus, dan kalau bisa, miliki lah
TOEFL 550 ke atas, sudah menulis buku, pergi ke luar negeri untuk tujuan
akademik, dan sudah punya usaha sendiri.” Aku tidak bisa lupa, tidak bisa lupa.
Tapi yang jelas itu semua dilakukan kalau bisa, sudah semestinya bukan jadi prioritas.
Ternyata, pergi ke luar negeri rumit sekali,
tapi bukan berarti tak bisa diusahakan. Yang pasti, kita harus berurusan dengan
paspor. Banyak application form yang
mengharuskan kita melampirkan nomor paspor. Dari mana nomor paspor kalau tidak
punya? Memalsu? Sungguh, ada baiknya kita punya lebih dulu, itu jelas akan
sangat membantu. Ini mengingatkanku pada perkataan seorang kawan, ia pun
mengutipnya dari seseorang berpengaruh, “Banyak mahasiswa yang benar-benar
ingin ke luar negeri, tapi berapa banyak yang punya paspor?” Sederhana, tapi
menyadarkan.
Ada hal yang lebih berat dari persiapan
administrasi dan perlengkapan menunjang selama di luar negeri. Hal ini
mendasar, tapi mengacaukan segalanya. Jawabannya, mental. Hal ini mengalahkan
problem bahasa yang sebenarnya dimaklumi orang lain, ya semua orang khan sama-sama belajar.
Pergi ke luar negeri pasti membuat kita jauh
dari orang-orang terdekat yang mengerti kita, yang peduli pada kita, dan
mengusahakan yang terbaik untuk kita. Yang harus diketahui adalah, sebagian
besar orang pribumi menganggap turis adalah orang yang mandiri –buktinya bisa
sampai di negaranya. Jika kita punya masalah, mereka tidak akan tahu kalau kita
tidak bilang. Tapi, untuk apa kita bilang? Belum lagi ada budaya beberapa
negara yang menanamkan prinsip ‘it’s none
of my bussiness’ atau tidak biasa mencampuri urusan orang lain.
Tapi teman yang kuliah di Australia bilang, homesick seperti ini nyatanya biasa
dialami perantauan pada masa awal adaptasi mereka, jelang beberapa waktu akan pulang,
kita baru sadar kalau kita melewatkan banyak hal. Intinya, jangan sampai
menyesal, kesempatan tidak datang dua kali dalam waktu dekat.
Apa lagi ya? Budaya negara lain kadang membuat
kita jauh melesat dari zona nyaman. Misalnya, biasanya kita pergi ke manapun
naik kendaraan pribadi, namun di negara lain, kita harus berjalan
berpuluh-puluh kilometer –alasannya, ya karena itu termasuk dekat atau biaya
angkutan malah seharga harga makan siang ditambah malam. Atau misalnya di sini
kita makan enak dan lahap dengan sendok garpu atau bahkan tangan, di negara
lain harus menggunakan sumpit. Bagi kita yang tidak ahli, rasanya 30 menit-an,
ditambah diajari lagi atau diberi gelengan kepala.
Ini semua hanya informasi, bisa saja tidak
dialami. Yang jelas, kadar kebanggaan, kebahagiaan, dan keseruan akan lebih
besar dari keadaan tidak nyaman. Mengapa? Karena kita akan belajar banyak
sekali hal baru dan unik, yang mungkin belum tentu kita dapat di negara
sendiri.
Fakta lainnya, percaya atau tidak, kadar
nasionalisme kita akan meningkat bila kita bertemu orang yang berasal dari
negara yang sama dengan kita. Kita jadi semakin mencintai negara dan
menganggapnya memang sebagai saudara. Kalau ini, adalah informasi yang aku
dapat dari kawanku yang sedang short
course di USA.
Semoga menginspirasi. Ayo, kita
ke luar negeri sama-sama! (intan)