There’s something
that can be done
To bring
us back together as one
There’s
something else I can do
That’s why
I’m sending this message to you
Just
because you’ll always be miles ahead of me
I
don’t see why I shouldn’t try to catch up with you
(Tahiti 80-1000 times)
Inilah
maksudku mengirimimu pesan pukul 09.46 lalu. Inilah usahaku.
Sebenarnya
kau tak pernah kemana-mana, aku yang berlari, meneduh diri di bawah bangunan
sampai birumu tak terlihat lagi dan menjadi sangat sedih saat sore datang,
karena birumu tak bisa lagi kucegah. Ini bahkan lebih buruk dari menghindari.
“Sibuk?”
“Nggak sama sekali. Untukmu, 25 jam!” adalah jawaban yang paling aku inginkan
di dunia. Aku jadi pura-pura lupa, langit biru pun tak sampai 24 jam waktu
normal. Jadi begini ya, aku jadi tidak
realistis?
Aku
senang, hari ini kau berusaha selalu biru. Mungkin kau sadar kita sudah tak
bertemu sekian hari. Aku buat rencana untuk menghibur kesedihanku atas
ke-tidak-biru-an-mu yang kubuat sendiri. Semoga
aku tidak mengacaukan apapun, demi kita yang terpisah selama ini.
Nyatanya,
aku selalu menyeretmu paksa masuk dalam pemikiran liar seorang idealis
sepertiku, termasuk pembenaran atas warna biru yang kau punya harus berpersepsi
sama denganku. Ya, padahal langit biru tak selalu begitu. Matahari dan hujan
membuatnya sedikit ‘menyelatan’, pagi dan sore membuatnya ‘mengutara’. Apa ini awal aku mengacaukan segalanya?
Ketahuilah,
saat aku marah, aku tak pernah benar-benar begitu. Aku cuma sedih saja karena
birumu tak lagi sesuai bayanganku. Ketahuilah, saat aku marah, hanya kau yang
aku ingin marahi, karena reseptorku hanya biru, biru! Aku tidak bekerja apalagi
marah, di luar warna ini. Aku anggap biru itu luar biasa, ada pada langitmu. Ketahuilah, banyak sedih dan gumam "seharusnya tidak begini" saat aku meninggalkanmu berjalan di belakang, berat sekali. Rasanya, aku mulai menunggu besi terapung.
Di
pikiranku, biru akan mencegah orang-orang memarahi matahari. Mereka yang tak
suka disengat matahari, selalu cerah saat melihat langit biru. Selalu begitu.
Lalu biru seperti apa? Seperti apa lagi, biru? Tolong dengarkan aku, aku susah
sekali mencari waktu irisan kita berdua. Hening.
Kepada
langit biru di tempat, aku bingung, tak punya ide, kenapa (aku) selalu seperti
ini? Kelewat senang mungkin, kita akhirnya bertemu lagi. Terlalu banyak
ceritaku, seperti biasa. Ternyata sinyalku tak sampai. Oh, sampai, hanya kau
mengartikannya lain. Aku terlalu heboh ya? Maaf, hari ini warnamu benar-benar
biru, biru yang ada di pikiranku. Aku
atau kau yang akan menekan tombol restart ini?
Untuk
beberapa kesempatan, aku tak punya aktivitas berkelas di sebelahmu. Aku terlalu
gugup sampai kehilangan panduan. Saat blank
seperti ini, aku membenarkan kebiruanku atas dirimu, aku memahami dirimu yang
biru, tapi aku tak berhasil menggabungkan keduanya. Banyak benak di kepalaku
menganggap ini bukanlah kesalahan, ini sebuah gangguan, semacam cobaan untuk
langit biru. Cukup, aku tak sanggup lama-lama
seperti ini!
“Ya
udah, kenapa kamu pilih sama aku?” adalah kalimat yang tak pernah berhenti mengiang di
kepalaku. Sungguh, aku tak pernah memilih. Semua orang, termasuk kau, hidup di
bawah langit biru. Semua orang pasti punya kenangan tentang langit biru,
setidaknya pasti pernah sekali saja bicara tentang ini. Tuhan, aku harus jawab
apa atas pertanyaan seperti ini? Dia bilang aku salah menganggapnya biru. Yang
terjadi hanya persepsi yang beda, ini bukan kebuntuan, ini butuh jalan keluar. Entah ya.
Aku
tidak pernah membenci langit biru. Aku sudah menyukainya saat lapangan
sekolahku berhasil memantulkan warnamu. Aku tidak pernah membenci keadaanku
hingga tidak terdeteksi begini, aku mungkin bersyukur aku akhirnya merasakan
kebiruan. Aku cuma sedih kau melibatkan aku di statusmu tapi tak ada
kebahagiaan bersamaku di sana. Sungguh,
hari ini berubah tak biru!
Tuhan,
semoga aku masih punya banyak waktu untuk melihatnya membiru bersamaku. Aku
masih ingin hidup di bawahnya. Aku mungkin hanya perlu membatasi diri,
membiarkannya sedikit bermain warna, mungkin biru lain membuatnya nyaman. Aku
mungkin harus menanamkan doktrin biru baru, melihatnya biru saja sudah bahagia,
jangan campuri kebiruannya. Tuhan, semoga aku bisa mengembalikan ini seperti
semula. “There’s something that can be done,
to bring us back together as one. There’s something else I can do, that’s why I’m
sending this message to you.”
Maaf.