Minister of Communications and Information on Duty :) |
Mawapres = Berpikir
‘Menjadi Tidak Biasa’
oleh Ni Putu Intan Sawitri Wirayani (Farmasi UA 2009)
“Hidup itu walaupun aman damai sekalipun, selalu
ada kompetisi. Lebih baik sombong sedikit daripada minder.” Kira-kira begitulah
kutipan Mochammad Achir, salah seorang news
anchor favorit saya dalam buku 23 Episentrum karangan Adenita. Sedikit
banyak, saya setuju. Hal yang perlu digarisbawahi adalah kata kompetisi. Saya
kemudian tidak lantas memaknainya selalu sebagai sebuah persaingan, ini adalah
rencana Tuhan untuk menjadikan kita maju. Menurut saya, kompetisi di sini
menitikberatkan pada upaya untuk menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Selama
masih gratis dan merupakan hak setiap mahasiswa, I will.
Menjadi mahasiswa tidak biasa ini nyatanya mudah
sekali. Jika kawan-kawan memilih langsung pulang setelah kuliah, maka saya
mencoba mengukur kemampuan sosialisasi dan kapabilitas saya dalam hal memimpin
melalui beberapa organisasi, termasuk menjadi ketua beberapa kegiatan –mengapa
tidak, ini khan gratis dari
Tuhan. Jika kawan-kawan memilih menjaga
kerapian dan kebersihan dinding kamar, saya sebaliknya. Saya bahkan menulis
besar-besar ‘Saya akan menjadi mawapres suatu hari dan Tuhan memberkati saya
sampai ke sana’ lalu menempelnya di dinding kamar jauh sebelum saya tahu pasti
untuk apa saya jadi mawapres. Dan jika kawan-kawan memilih berkutat 85% dengan
tugas karena farmasi yang notabene berat, saya berusaha menyempatkan waktu
berkawan dengan civitas akademika kampus. Saya yakin pelajaran tentang
kehidupan akan saya dapatkan di mana saja. Bermula dari kedekatan dengan sub
bag kemahasiswaan, pintu menuju mawapres terbuka perlahan. Rumusnya ternyata
hanya sesederhana ini, (pola berpikir khalayak x tingkat antimainstream) + ikhlas + yakin.
Pada intinya, saya hanya ingin menjadi pioneer bagi kawan yang lain agar
pemikiran menjadi lebih dari mahasiswa biasa lebih membudaya. Namun, lagi-lagi
saya menemui masalah. Penolakan karena alasan ‘mawapres bukan prioritas kuliah’
dan ‘tidak ada penghargaan yang pantas bagi mawapres dari universitas/fakultas’
seolah ingin mematahkan keyakinan yang baru saya ikat kencang di kepala. Kalau
memang alasannya tidak bisa, saya juga tidak bisa, tapi saya berusaha dahulu.
Kalau memang alasannya ribet karena terlalu banyak dokumen yang harus
dikumpulkan, ya sudah selagi ada waktu, dokumentasikan dengan baik –terutama
untuk angkatan yang masih bebas dari tugas akhir. Ya, mungkin ini salah satu
risiko mengidealiskan diri menjadi tidak biasa.
Tidak ada yang salah dari menjadi mawapres, ini
adalah cerita lain selama kuliah. Dan siapa sangka saya berhasil melangkah
sampai ke universitas. Saya hanya menjadi diri sendiri. Baiklah kalau menjadi
mawapres dikatakan sebagai keajaiban, tetapi hubungkanlah keajaiban ini pada
kalimat ‘Seorang pemenang adalah seseorang yang sudah menyelesaikan setengah
pekerjaannya saat yang lain sedang terlelap.’
Akhirnya, misi
saya sudah berbuah manis. Kini, saya aktif mempromosikan apa itu mawapres dan
pola pencapaiannya. Saya sudah berjanji untuk membantu kawan-kawan lain
menemukan esensi mahasiswa berprestasi. Saya sadar ada langit di atas langit,
namun apa salahnya membagi sedikit pengetahuan dan pengalaman yang menjadikan
diri berguna bagi orang lain –mungkin ini merupakan salah satu kebahagiaan
menjadi mawapres. Kiranya saat ini saya lebih didengar, mungkin karena
pembuktian yang jatuh bangun. Saya awalnya tidak punya apa-apa kecuali semangat
dan keyakinan. Nyatanya, semangat dan keyakinanlah yang memotivasi saya untuk
belajar lebih, memperbaiki diri, dan terus menjadi tidak biasa, setidaknya bagi
diri sendiri.
Tulisan ini pernah dimuat di website Fakultas Farmasi Universitas Airlangga pada link Profil Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dan diterbitkan bersama tulisan Mahasiswa Berprestasi Universitas Airlangga lainnya dalam buku berjudul 'Dreams of Fighters'.