Mahendra, masih
dengan kacamata frame tebal dan rambut separuh jabriknya, duduk di sebelahku.
Kala itu, trotoar sudah sepi. Jalanan terlihat terang sekali disoroti lampu
jalan yang kekuningan. Bunyi kendaraan tak terlalu bising, ini bukan jalan
utama yang selalu lalu lalang.
Dia menggenggam iPhone 4-nya, ada gadis dalam wallpaper yang manis sekali. Aku melihatnya, tapi tak terlalu memperhatikan.
Dia menggenggam iPhone 4-nya, ada gadis dalam wallpaper yang manis sekali. Aku melihatnya, tapi tak terlalu memperhatikan.
“Namanya Nata.
Dia punya senyum dan sayap malaikat, dia punya sejuta obrolan renyah yang dalam
tidur pun tak rela aku abaikan. Dia anggun tiada cela.”
Aku mendengarkan
ceritanya sambil memain-mainkan jariku menyentuh aspal jalan yang mendingin
seiring awan bergerak membarat.
“Dia punya banyak
pilihan yang lebih menarik, tapi tetap memilih bersamaku. Katanya, aku tampan
dari dalam. Aku sebenarnya tak terlalu percaya, tapi aku selalu ingin
mendengarnya bicara hal itu setiap saat. Aku baru tahu, ada gadis yang tulus bicara
seperti itu, sudah seperti memperjuangkan aku saja.”
Aku mulai
berminat, namun tak bisa menyimpulkan, mengapa Mahendra menceritakan hal seperti
ini padaku yang tak terlalu dikenalnya. Dalam hati aku bergumam, “Nata pasti
bangga punya pacar seperti Mahendra.”
“Dia cerdas luar
dalam, lebih dari bijak untuk gadis seusianya. Sangat mandiri, dia tak pernah
membuatku susah. Kata temanku, saat perempuan punya pacar, satu langkah dia
keluar dari rumah adalah tanggung jawab pacarnya. Tapi Nata lebih sering
memanjakanku. Aku, jarang melindunginya.” Suara Mahendra bergetar.
Aku menoleh ke
arahnya. Lama-kelamaan, cerita ini jadi sangat mirip. Ah, sudahlah.
“Aku membiarkan
dia menunggu. Aku membiarkan dia pulang sendirian di tengah malam. Aku
melupakan ulang tahunnya. Aku sibuk dengan duniaku, sementara dia selalu
memberi hadiah dan kejutan yang menyentuh, di berbagai kesempatan. Aku, hanya
memikirkan perasaanku. Aku lupa aku punya hal yang sangat berharga dan dia
punya hati yang terlalu lembut untuk disakiti. Dia tetap memilih bersamaku.”
Mahendra
mengeluarkan ponsel satu lagi dari kantong kirinya, kini BB. Ada wallpaper foto
bayi yang sangat lucu. Aku benar-benar tak tahu maksudnya, itu jelas bukan dia.
“Aku backstreet,
.....tapi aku bahagia.” Mahendra melepas kacamatanya. Aku masih sibuk dengan
tulisan semu yang kubuat di aspal jalan. “Foto bayi ini, Nata lagi. Senyumnya
benar-benar menguatkan aku. Aku jadi punya motivasi untuk menjadi sepertinya,
setidaknya lebih baik.”
“Belakangan, aku
jadi orang lain. Aku tak tahu bagian mana dari diriku yang sebenarnya benar,
dulu aku tak peduli aral, aku selalu berusaha meluangkan waktu untuknya. Tapi
rasanya tidak lagi, aku yakin ini bukan salahnya, hanya aku yang tidak
konsisten.” Mahendra diam sejenak, aku menanti lanjutan ceritanya, entah, semua
terjadi begitu saja. “Oh Tuhan, kasihan sekali Nata.”
Lama-lama aku
sadar dia sedang introspeksi, dan nyatanya butuh cermin untuk melihat celah
perbaikan. Cermin itu aku, sampai detik ini kuyakini demikian.
Aku memberanikan
diri untuk bertanya, sekedar, hanya tak ingin dianggap tidur. “Kamu dan Nata
baik-baik....” Belum selesai aku bertanya, Mahendra menangis. Ponselnya
dijatuhkan, di atas aspal jalan yang kasar. Aku menyelamatkannya.
Kesimpulannya, dia tidak mendengarkanku.
“Aku yakin Nata
sedang menangis, karena aku. Aku bodoh sekali. Kenapa aku harus memutuskannya?
Dia tidak bersalah.” Mahendra kelihatan lemah sekali. Tuhan, apa yang seperti
ini namanya cinta? Kau bahkan sanggup membuat seorang laki-laki tegar menangis.
Aku panik.
“Mahendra, tolong
dengarkan aku sebentar!” Aku sedikit berteriak, sebenarnya lebih tepat kalau
dibilang sedang mengusahakan pertolongan, setidaknya dari orang yang terpuruk
di sebelahku.
“Bahkan di mata
kuliah pilihan saja dia dapat nilai paling tinggi satu angkatan, aku malah
membuatnya tidak pantas. Sebenarnya di lubuk hatiku, aku sangat bangga memilikinya,
dia berlian, hanya butuh aku sebagai pelengkap pengasahnya.” Aku menangkap
kata-kata Mahendra dalam keterbata-bataan karena tangisan. “Harusnya aku
mendengar kata hatiku, bukan kata mereka yang tidak tahu apa-apa.”
Tuhan, siapa aku?
Siapa Mahendra? Dan siapa Nata? Malam ini semu sekali. Aku tak berhenti
memikirkan ini sepanjang jalan. Nyatanya aku memang hanya bertindak sebagai
cermin yang tidak memberi solusi, aku hanya media, agar yang melihat kepadaku
menyadari kesalahannya dan memperbaiki, kalau masih mungkin.
Tuhan, mengapa
Mahendra menganggapku cermin? Apa ada hubungan antara ceritanya dan aku? Aku
tak sempat bicara lagi, dia jelas masih terguncang. Lebih baik aku pulang saja,
ada adik yang harus aku jemput kemudian. Aku hanya meninggalkan note kecil di
sebelahnya, dan sebuah lagi kumasukkan ke tasnya. Sederhana, hanya dengan pen
boxy, aku menulis “Tolong perjuangkan aku sekali lagi. –Nata”.
3 minggu kemudian, aku tak sengaja melihat
social media Mahendra. Syukurlah Mahendra berhasil menunjukkan perjuangannya
pada Nata. Kalaupun mereka harus putus, berjanjilah padaku Tuhan, mereka harus
selesai dengan cara yang sangat halus dan kemudian menjadi kawan, bukan dengan
cara yang terlalu mendadak karena alasan yang irrasional , terlebih karena
orang lain.
--------------------------------------------------------------------------------------------
(Tadinya tulisan/
cerita ini tidak ingin aku share pada orang lain. Namun karena berakhir bahagia
(apapun rencana Tuhan = bahagia pada akhirnya), lebih baik aku berbagi
inspirasi yang aku dapat dari duduk 1 jam di pinggir jalan)