Apotek #2

Masih di apotek. Harinya hujan, kadang cerah. Masih pula aku menghitung kapan aku akan keluar dari jeratan ini, jeratan yang kubuat sendiri.
Salah satu nilai nine stars pharmacists yang dicanangkan WHO adalah entrepreneur. Apoteker diarahkan memiliki usaha dagang yang berjasa, yakni obat beserta komunikasi, informasi, dan edukasinya. Maka dari itulah aku praktek, agar aku paham bagaimana menjadi seorang ‘pebisnis.’
Suatu hari, dari balik etalase obat bebas, kulihat seorang tua dengan kendaraan seadanya. Di kanan kiri sepedanya diletakkan keranjang bambu besar diisi rumput. Kupikir sangat susah baginya menyeimbangkan bagian kanan dan kirinya saat bersepeda. Rumput-rumput panjang itu bagai buntalan, berat dan agak padat.
Ternyata beliau berhenti di depan apotek. Sepedanya tidak punya penyangga, pilihannya hanya dua, membawanya ke kanan atau ke kiri, tergeletak. Topi bambunya beliau betulkan, celana kusam dan kotor terkena lumpur dan hujan itu pun sedikit beliau naikkan sebelum berjalan ke arahku.
“Nak, Ventolin®.”
Aku mendengarnya dengan baik. Aku menyuruh sang bapak menunggu, aku akan segera kembali.
Ventolin® adalah obat asma dalam sediaan inhaler. Yang aku segera sadar, beliau dengan keadaan tubuh yang ringkih seperti itu adalah seorang penderita asma. Aku melihat label harganya. Rp 101.700,00.
Aku benar-benar minta maaf karena hari itu aku meragukan sang bapak. Di pikiranku, sang bapak akan terkejut mengetahui harga obatnya.
Aku kembali ke depan, bagian pelayanan. Hanya etalase yang membatasi aku dan beliau. Aku menggenggam box Ventolin® di tanganku. Belum aku mengatakan harganya, sang bapak segera mengeluarkan lipatan uang tebal di sakunya. Tangannya gemetar, mungkin karena kedinginan. Aku bisa melihat urat-urat yang muncul dan flek-flek coklat pada kulitnya.
Uangnya berkisar antara dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan. Dengan cekatan, tangannya terus bergulir hingga Rp 102.000,00. Aku memandanginya dengan haru. Kalau aku, akan sangat tidak ikhlas jika harus menghabiskan penghasilanku untuk hal seperti ini. Tapi di sisi lain, mungkin sang bapak tidak punya pilihan selain bergantung pada obat seperti ini.
Uangnya bukan seratus ribuan, uangnya dalam pecahan yang kecil sehingga Rp 100.000,00 menjadi sangat tebal, mungkin cukup untuk makan 4 hari.
“Sebentar ya Pak, saya ambilkan kresek.”
“Nggak usah, Mbak!”
Aku mengembalikan Rp 300,00 kepada beliau. Sesaat aku ragu memberinya paham seputar penggunaan inhaler, tetapi beberapa detik setelahnya, sang bapak berlalu. Beliau memang terlihat sudah biasa menggunakannya.

Aku terus memandanginya. Tuhan, semoga beliau sehat-sehat saja untuk keluarganya. Semoga dengan keadaannya saat ini, beliau masih bisa memberikan nafkah bagi keluarganya hingga cukup. Semoga dengan hidup menyerahkan diri pada Tuhan, beliau selalu punya penghasilan untuk membeli obat.
Setelahnya aku berpikir bagaimana ya membuat obat menjadi benar-benar murah untuk mereka yang membutuhkan. Aku apoteker, aku di kemudian hari pasti sering menghadapi yang seperti ini. Semoga Tuhan berkehendak atas aku.

My Instagram