Masih di apotek. Harinya hujan, kadang cerah. Masih pula aku menghitung
kapan aku akan keluar dari jeratan ini, jeratan yang kubuat sendiri.
Salah satu nilai nine stars pharmacists
yang dicanangkan WHO adalah entrepreneur. Apoteker diarahkan memiliki usaha
dagang yang berjasa, yakni obat beserta komunikasi, informasi, dan edukasinya.
Maka dari itulah aku praktek, agar aku paham bagaimana menjadi seorang ‘pebisnis.’
Suatu hari, dari balik etalase obat bebas, kulihat seorang tua dengan
kendaraan seadanya. Di kanan kiri sepedanya diletakkan keranjang bambu besar
diisi rumput. Kupikir sangat susah baginya menyeimbangkan bagian kanan dan
kirinya saat bersepeda. Rumput-rumput panjang itu bagai buntalan, berat dan
agak padat.
Ternyata beliau berhenti di depan apotek. Sepedanya tidak punya penyangga,
pilihannya hanya dua, membawanya ke kanan atau ke kiri, tergeletak. Topi
bambunya beliau betulkan, celana kusam dan kotor terkena lumpur dan hujan itu
pun sedikit beliau naikkan sebelum berjalan ke arahku.
“Nak, Ventolin®.”
Aku mendengarnya dengan baik. Aku menyuruh sang bapak menunggu, aku akan
segera kembali.
Ventolin® adalah obat asma dalam
sediaan inhaler. Yang aku segera sadar, beliau dengan keadaan tubuh yang
ringkih seperti itu adalah seorang penderita asma. Aku melihat label harganya. Rp
101.700,00.
Aku benar-benar
minta maaf karena hari itu aku meragukan sang bapak. Di pikiranku, sang bapak
akan terkejut mengetahui harga obatnya.
Aku kembali ke
depan, bagian pelayanan. Hanya etalase yang membatasi aku dan beliau. Aku menggenggam
box Ventolin® di tanganku. Belum aku mengatakan harganya, sang bapak segera
mengeluarkan lipatan uang tebal di sakunya. Tangannya gemetar, mungkin karena
kedinginan. Aku bisa melihat urat-urat yang muncul dan flek-flek coklat pada
kulitnya.
Uangnya berkisar
antara dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan. Dengan cekatan, tangannya
terus bergulir hingga Rp 102.000,00. Aku memandanginya dengan haru. Kalau aku,
akan sangat tidak ikhlas jika harus menghabiskan penghasilanku untuk hal
seperti ini. Tapi di sisi lain, mungkin sang bapak tidak punya pilihan selain
bergantung pada obat seperti ini.
Uangnya bukan
seratus ribuan, uangnya dalam pecahan yang kecil sehingga Rp 100.000,00 menjadi
sangat tebal, mungkin cukup untuk makan 4 hari.
“Sebentar ya Pak,
saya ambilkan kresek.”
“Nggak usah,
Mbak!”
Aku mengembalikan
Rp 300,00 kepada beliau. Sesaat aku ragu memberinya paham seputar penggunaan
inhaler, tetapi beberapa detik setelahnya, sang bapak berlalu. Beliau memang
terlihat sudah biasa menggunakannya.
Aku terus memandanginya. Tuhan, semoga beliau sehat-sehat saja untuk keluarganya. Semoga dengan keadaannya saat ini, beliau masih bisa memberikan nafkah bagi keluarganya hingga cukup. Semoga dengan hidup menyerahkan diri pada Tuhan, beliau selalu punya penghasilan untuk membeli obat.
Setelahnya aku
berpikir bagaimana ya membuat obat menjadi benar-benar murah untuk mereka yang
membutuhkan. Aku apoteker, aku di kemudian hari pasti sering menghadapi yang
seperti ini. Semoga Tuhan berkehendak atas aku.