Apotek



Hidup itu sudah digariskan.
Di suatu titik, mengeluhlah, tetapi jangan pernah melarikan diri.

"Orang hebat tidak akan pernah melarikan diri" (Wirayani, 2014).

Fase yang harus dilalui selanjutnya adalah praktek di apotek. Selama 5 minggu aku akan belajar manajerial dan pelayanan seorang apoteker di apotek. Apotek? Apotek? Oh kumohon, jangan bercanda!
Salah satu hal yang berpengaruh dalam 'learning by doing'-mu adalah lingkungan. Tuhan, bisakah aku belajar dengan keadaan mencekam seperti ini? Aku dan kawanku hanya ingin belajar, kami hanya digariskan Tuhan berada di sini. Tolong, 5 minggu saja.

Entah ya, mengapa tiba-tiba aku tidak bersemangat seperti ini. Dalam kehidupan praktek komunitasku, inilah fase yang paling banyak rintangannya, dan rintangan itu berasal dari pikiranku sendiri. Lingkungan atau pikiranku kah yang sedang bermasalah. Di sisi berbeda, langitku masih runtuh. Susah sekali fokus pada apa yang sedang di depan mata. Menjadi apoteker seharusnya lincah, sigap, teliti, peka, dan punya wawasan. Sifat-sifat baik itu tidak terjadi padaku.

Sampai suatu hari,
"Intan, kamu dicariin ibunya tuh tadi," Gretta menyapaku serius. Kalau tidak salah, ada Zakki juga. Mereka berdua adalah partnerku selama di apotek. Keduanya ramah, solutif, dewasa, dan menyenangkan.
"Ada apa?" Aku menaruh tasku, lalu mapku. Langkahku gontai, masih tak menemukan langit cadangan.
"Nih," Gretta membukakan catatan penjualan. Di sana tertera nama obat lengkap dengan jumlah dan total harga setiap penjualan. Melalui buku itu, kami bisa tahu berapa kira-kira penjualan per hari. Kebetulan apotekku terkenal sekali, dalam sehari bisa menghasilkan antara 3 hingga 8 juta.
Ada yang aneh, tulisan Sporetik (merek antibiotik yang mengandung cefixime, red), dilingkari plus diberi tanda tanya.
"Salah ngejualin kamu, Tan. 1 kapsul Sporetik harganya Rp 20.600,00, 1 strip (isi 10 kapsul) ya Rp 206.000,00."
Tidak lama kemudian, Gretta pulang. Hari itu dia shift pagi, berakhir pada pukul 14.00 WIB. Tersisalah aku, Zakki, dan Mbak Elsyah (pegawai apotek) di siang terik keabu-abuan itu.
Aku berpikir lama sekali. Rasanya kabel-kabel di otakku sedang bermasalah. Hahaha, jadi ceritanya, aku menjual 1 strip Sporetik dengan harga yang sangat murah, tak sebanding dengan khasiatnya yang memang antibiotik sangat poten. Aku yang salah, jelas! Aku dicari ibunya, jelas! Aku harus mengganti uang penjualan sebesar Rp 206.000,00 - Rp 20.600,00.
"Aduh Zak, gimana ini? Kacaulah aku, pokoknya hari ini uangnya harus aku kembalikan."
"Ya udah gih, balikin aja, terus minta maaf."
"Tapi aku nggak bawa uang, amplop juga nggak ada."
Jadilah hari itu Zakki mengantarku ke ATM terdekat. Sisi lain malaikatnya, justru Zakki yang membayariku amplop. Oh Tuhan. Beginilah aku yang tidak fokus, aku merepotkan dan membuat susah sesamaku. Sekalipun aku tidak bermaksud, bagaimana ya tanggapan orang-orang terlibat terhadapku selanjutnya?
Sebagai peringatan, aku meminta tolong semua orang yang membantuku di apotek hari itu untuk menuliskan wejangannya padaku. Aku harus diawasi, aku sedang kehilangan sebelah kesadaranku.

My Instagram