Reset Button

"Masih sedih? Aku dong, lagi creambath," sapa Gus Iwan, kawan berhati ibu peri, di kota Sampit sana.
"Hidupmu bahagia banget ya," balasku tak semangat.
"Harus dong! Harus bahagia hidupku. Udah capek-capek kerja gini, masa sisa waktunya aku pakai meratapi nasib? Mana nggak ada siapa-siapa di sini."
Aku diam saja, setengah menerawang.
"Kamu harus kuat, Tan, di sana. Aku juga. Kita harus kuat!"


Apa yang salah sebenarnya? Mengapa ada orang yang cukup sering sedih dan ada orang yang terlampau bahagia? Yang aku percaya, saat hari ini kita bahagia, suatu hari kita tak mungkin lepas dari kesedihan. Begitulah agama Hindu mengajariku --konsep Rwa Binedha.

Hidup itu seperti roda, kadang di atas dan tak jarang di bawah.
Segala sesuatu indah pada waktunya.

Katanya, orang sedih itu lebih banyak karena mereka tidak mampu bersyukur, mereka melihat segala sesuatu dari 1 sisi saja --sisi paling sedih. Tetapi, aku tidak sepenuhnya setuju. Orang sedih bisa saja karena dia adalah seorang melankolis kronis! Aku, mengalaminya. Semua tahu jika aku menerawang, maka wajahku akan terlihat sangat sedih, dan lalu mereka akan bilang "Sudah gek, jangan terlalu dipikirkan. Hiduplah biasa saja." Hai, aku selalu berusaha demikian. 1000 kali lebih keras dari orang biasa. Aku sudah berusaha. Tolonglah mengerti, pikiran itu yang datang menghampiriku.

Tak mungkin aku minta pada Tuhan untuk menghilangkan sifat ini. Ini pemberian, ini sebuah kelebihan, walaupun tak semua orang merasa diuntungkan. Dengan sifat ini, aku lebih terlihat seperti orang yang berlebihan, tapi apa daya. Hal kecil yang bisa aku usahakan adalah membuat pikiran yang jauh lebih besar dan lebih worthed untuk dipikirkan! Who knows, pikiran kecil tak bermuara ini akan menjinak dengan pikiran-pikiran besar yang sangat sengaja aku datangkan, malam ini.

Aku menyebutnya reset button. Aku akan lebih sering membaca post yang terlalu lama ditunda publikasinya ini, dan menatap 3 pikiran liar yang aku usahakan di bawah ini. Dan pada saat itu, aku sedang mengalami, fase reset.




Yaa, kalau suatu hari aku melankolis lagi, itu berarti aku memang memberikan diriku waktu untuk merenung. Tetapi, saat itu juga aku akan memberikannya deadline untuk kembali bersinar, as soon as possible. "Jangan melankolis lama-lama, Intan."

Mungkin mereka bulan, tapi ingat kau matahari
Cahaya mereka darimu. 
Tulus-Lagu untuk Matahari (Aku suka lagu ini, suka sekali. Kalau bukan Bayu yang mengenalkannya pada jam makan siang kemarin, aku mungkin tak pernah benar-benar peduli.)

My Instagram