Kamboja


Ah, kau lagi. Sedang menyambutku ya? Nyatanya iya, berdiri cantik cemerlang di depan rumahku. Aku membuka pintu mobil bertampang lelah, tapi jika ingat aku akan berurusan lebih jauh dengannya setelah ini, aku rasa aku baik-baik saja, aku pun menyambut sapaannya.

Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menyukai bunga ini. Sebelumnya, hanya ada dua kembang yang terpatri sejati jika ditanya “apa bunga favoritmu?” Pasti kujawab kenanga, lalu sedap malam. Kamboja sudah mengalihkan duniaku, aku tak mungkin melesatkannya ke urutan pertama, aku hanya tak bisa ingat kapan aku mulai menyukainya sampai tak lagi memikirkan kenanga dan sedap malam.

Kurasa ini ulah ayah dan ibuku. Kalau ditarik jauh lebih jauh, ini mungkin karena pengaruh ke-Bali-an kami. Kapan kau sempat, mampirlah. Rumahku, entah di Surabaya, atau di Denpasar sana, punya kembang kamboja yang tak pernah tak ikhlas berbunga. Saking kreatifnya ayahku, digabungkannya warna merah dan putih menjadi satu kesatuan. Ibuku tak pernah memperlakukannya seistimewa bunga anggrek di rumah kami – yang selalu disiram rendaman air beras, tetapi ibuku adalah orang pertama yang benar-benar marah saat mengetahui pembantu tetangga mencoba memungut bunga kamboja di halaman kami pagi-pagi buta dan menjualnya. Kau tahu, kini bunga kamboja kering berharga Rp 95.000,00/ kg. Wah kamboja, ada saja ya yang menyukaimu karena menginginkan sesuatu darimu. Aku tidak punya solusi.

Kini aku sudah segar, tak lagi bermandikan peluh dan mendapat ratusan ribu kekuatan karena ayah, ibu, dan adikku ikut menyambutku, merangkulku dalam kekeluargaan, seperti biasa. Maka kutinggalkanlah mereka sejenak, aku punya urusan. Kamboja lah urusanku, berapa kali aku berpikir, tetap saja aku merasa kamboja ini beranjak tinggi setiap hari. Aku hampir selalu tak kuat menggapai bunganya. Hei, aku lebih elegan daripada mereka yang memungut bunga ini, aku memetiknya, dan aku sudah selalu minta ijin pada pemiliknya (diriku sendiri, red) dan padanya!

Aku datang dengan gumpalan kamboja putih kuning, aku tak berdaya memetik kamboja merah. Tanganku dan bunga-bunga itu berlumur getah putih, lengket dan khas, milik kamboja. Saat sedang mencucinya, aku berpikir lagi.

“Bukannya aku jauh lebih rendah daripada kamboja ini? Mengapa aku selalu berhasil memetiknya?” gumamku.
“Karena kamu menggunakan aku untuk tujuan dan niat yang baik, sembahyang. Maka Tuhan akan memudahkanmu. Kadang aku lah yang memintanya pada Tuhan,” sahut Kamboja.
Aku mengangguk. Kamboja benar. Terlalu benar untuk dibantah, tiada cela.
“Maaf ya kamboja, padahal kamu terlalu anggun untuk dipetik,” kataku sedikit menyesal.

Aku sedikit banyak sedang menunggu jawabannya, tetapi yang terjadi sepertinya dia mendorongku menemukan hal yang aku permasalahkan. Kamboja adalah tumbuhan, makhluk ciptaan Tuhan tingkat 1. Akan sangat susah melihat perbuatan baik dan buruknya selama di dunia. Nilai-nilai kehidupannya ditentukan dari persepsi makhluk lain yang menganggapnya bermanfaat.

Suatu hari, adikku lah yang merasa menyesal sudah memetik kamboja, padahal dia pun juga pemilik resminya. Aku berkata padanya, “Dek, kamboja ini senang sudah dipetik, artinya dia bermanfaat bagi orang lain. Dia pasti masuk surga, di kehidupan mendatang, dia akan jadi manusia atau yang lebih tinggi.”

Dari kamboja, yang kuanggap favorit, yang kuanggap punya senyum mendamaikan, aku belajar banyak hal, tetapi yang utama ada dua, “Tuhan akan memudahkan segala urusan kita jika niat dan tujuan kita baik” serta “Hidup singkat ini harus dibawa pada segala sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, agar hidup tidak sia-sia”.

Cobalah berkawan dengan kamboja, menanamnya mungkin – aku bisa memberimu banyak batangnya jika kau mau. Percayalah, kamboja adalah kawan yang solutif. Selamat mencoba.

My Instagram