Well, baru-baru ini adik kelas
datang kepadaku. Mereka kini orang hebat, mereka berhasil meyakinkan ratusan
orang di kampusku bahwa kepemimpinan sanggup mereka urus setahun ke depan.
Kalian benar, mereka berhasil memenangkan pemira fakultas.
Rasanya berat, aku sebenarnya tak
suka dipanggil steering committee (SC) apalagi senior. Memang aku siapa? Aku
hanya berbeda satu tahun dengan adik kelas yang masuk tahun 2010, beda dua
tahun dengan adik kelas yang masuk tahun 2011, dan beda tiga tahun dengan adik
kelas yang masuk tahun 2012. Aku benar punya ilmu, tapi kesemuanya didasarkan
pengalaman. Semua orang dewasa pasti begitu, mereka menang di pengalaman.
Seandainya adik-adik ini lahir duluan, mungkin pengalamannya yang kujadikan
percontohan.
“Kira-kira siapa, Mbak?” atau
“Menurut Mbak, anak ini gimana?” menjadi makananku baru-baru ini. Kalau tak
salah, aku pun demikian, setahun yang lalu. Dalam keadaan bingung, meragu, dan
ingin menjaga kelurusan kawat perjalanan organisasi, memilih personilnya menjadi
sangat susah. Ada, yang benar-benar sangat bagus, tapi tak bisa dipilih karena
belajar adalah hal yang lebih dari utama. Ada, yang cocok, bisa dipercaya dan
kerjanya telaten, tapi amanah di ruang lain mengharuskannya fokus, tak boleh
mendua. Kami mendesah, bingung bermenit-menit, bahkan sampai mengabsen nama di
kontak ponsel. Sebenarnya, apa masalahnya?
Bagaimana, bagaimana, bagaimana,
kalau tidak ada yang pantas menggantikan posisinya atau posisiku? Mengapa,
mengapa, mengapa pilihan jadi sangat terbatas hanya pada angkatan tertentu? Jangan bodoh, sebentar lagi kau lulus!
Aku kembali memberikan mereka gambaran, kutinggalkan pertanyaan-pertanyaan
anehku. Jawabannya jelas, ini kepengurusan tahunan, dan personilnya akan sangat
baik bila berdasarkan tahun. Maksudku, silakan jika ingin meneruskan saat ini,
tapi apa rela belum lulus sedangkan teman-teman lain bangga bertoga demi ini?
Tapi bagaimana jika memang tidak
ada yang pantas menggantikan? Kupikir, jika mindset ini masih dipelihara, open
recruitment semendetail apapun akan nihil. Langkah pastinya satu, harus dan
harus mempercayakan. “Dia saja, bekalnya sudah matang, tinggal dipoles
sedikit,” atau “Dia lebih bagus di bidang ini, ini passion-nya,” saranku.
Mereka mendadak jadi memikirkan tetapi kadang ragu, wajar, aku hanya
mengarahkan, memberi gambaran sepengetahuanku. Mereka mungkin punya pengetahuan
lain yang aku tak tahu.
****
Benar kata Ketua BEM UA suatu
hari, organisasi kampus bukanlah pekerjaan, jadi wajar jika suatu hari kau
lelah, penuh keluh, bahkan sampai keluar karena tak sejalan. Organisasi tidak
memberimu uang, hanya bekal, untuk mencari uang dengan soft skill-mu yang
runcing. Orang yang pergi begitu saja atau mendadak tidak bersemangat
sebenarnya tidak salah, hidup itu pilihan, mungkin organisasinya yang kurang
meyakinkan. Kalau ada kasus seperti ini dan aku ada di dalamnya, aku akan
melepaskan mereka, karena memang sepantasnya begitu.
Kembali ke regenerasi, aku
sebenarnya tak paham apa itu. Mengapa orang yang expert harus digantikan? │Iya,
karena perkaranya waktu. │Bagaimana kalau yang bersangkutan masih mampu dan mau? Bagaimana
kalau memang tidak ada yang pantas menggantikan? │Ini tidak semudah
itu.│Dipaksakan? │Iya.
Selesai sudah, yang dilakukan di
lingkupku selama ini adalah memaksakan regenerasi.
Mengenai ini, aku jadi punya teori baru. Dunia kampus ini mutlak sederhana, hanya berupa miniatur kehidupan di luar sana, kehidupan setelah lulus. Semua berhak merasakan, agar mampu mengkaderkan dirinya sendiri secara mandiri. Itulah, itulah yang terjadi, yang dianggap ‘memaksakan regenerasi’. Angkatan 2009 sudah berusaha di tahun ini, dan pembekalan terhadap dirinya harus dianggap cukup. Selanjutnya, giliran angkatan 2010 yang merasakan, lalu 2011, 2012, dan seterusnya.
Satu hal yang pasti, pengaruh
seseorang tak akan hilang dengan regenerasi, ia dikenang, ia disandangkan
sebagai orang yang pantas meregenerasi keadaan. Ia (mungkin) kemudian dipanggil
regenerator.