Tension of Opposites

Aku, mahasiswa farmasi semester tujuh. Kalau menoleh lagi ke belakang, sudah ribuan kali aku memaafkan kehidupan perkuliahanku dan sudah milyaran kali aku berdoa pada Tuhan, semoga aku selalu dimudahkan, diberi keikhlasan penuh untuk menempuh apa yang disebutNya ‘jalan terbaik’.

Mungkin inilah yang dinamakan Tension of Opposites. Mungkin lebih seperti pergulatan batin, atau bahkan karet gelang. Kita memosisikan diri di dalamnya, kadang tertarik ke kanan dan tak jarang terseret arus ke kiri. Melalui sudut pandangku, sisi kanan adalah passion-ku di bidang public speaking, ini murni tentang aku yang ingin menjadi penyiar radio. Sementara sisi kiri adalah masa depan yang kuarahkan di bidang farmasi. Aku yang berada di tengah karet gelang ini sebenarnya ingin punya waktu ke sisi kanan, apalagi peluang di depan mata. Akan tetapi, aku sadar, farmasi mengharuskan aku menghabiskan waktuku penuh tak tanggung-tanggung untuknya. Lantas, aku setuju begitu saja? Tidak. Aku orang yang sangat idealis, sekali aku bilang tidak akan memihak pada kanan dan kiri, itu artinya demikian. Maka, jadilah aku yang sering mencuri waktu ke sisi kanan untuk pelarian semuku dari sisi kiri. Aku mau semuanya seimbang dan maksimal, ya, aku masih belajar.



Ada lagi yang bisa disebut kanan dan kiri, kali ini lebih dekat lagi dengan farmasi. Sisi kanan yang kubahas adalah ilmu luar biasa yang tidak dimiliki pembelajar di fakultas lain. Alangkah senangnya memahami kimia farmasi, farmasetika, farmasi klinis, farmakognosi dan fitokimia, serta farmasi komunitas sementara yang lain tidak benar-benar paham. Aku, maaf, sesekali ingin membanggakan diri karena terkadang rasanya sangat susah. Dan sisi kiriku berupa fenomena saat ini, kehausan atas nilai yang menurut banyak orang adalah representasi dari ilmu. Oh ya? Dari mana? Aku tak pernah mendengar jawaban yang memuaskan untuk ini.

“Farmasi itu susah. Kamu ikuti alurnya aja, nilai bisa lah, bagus,” kata kawan, sedang sibuk dengan kalkulatornya. Dia pintar, menurutku dia ajaib.
“Ilmunya? Gimana kalau ada anak pintar macam kamu sakit waktu ujian, nilainya jelek. Ilmunya ditaruh di mana? Dosennya tahu kamu pintar?”
“Farmasi itu susah. Makanya jangan sakit!” Ia mematikan kalkulatornya.

            Obrolan sore itu tak menyelesaikan benang kusut panjang dalam pikiranku. Aku sedih, Tuhan. Mengapa semua harus berbasis nilai? Mengapa jarang ada yang menghargai usaha seseorang untuk menerima ilmu? Duduk di depan, membaca mandiri, begadang untuk belajar, diskusi, rajin masuk tanpa absen, bertanya, itu semua khan usaha yang positif. Mengapa nilaiku hanya ditentukan satu hari, oh maksudku dua jam ujian? Aku tiba-tiba ingat guru SD, SMP, dan SMA-ku yang berusaha memahamkan keadaan muridnya. Entahlah, aku sedang random, mungkin ini bedanya kuliah dan sekolah.

            Sebenarnya, hubungan ilmu dan nilai itu hanya satu arah. ‘Seseorang yang berilmu, nilainya bagus’ tidak sama dengan ‘Seseorang yang nilainya jelek artinya tidak berilmu.’ Sekali lagi, bagaimana kalau sakit, bagaimana kalau jawabannya terlalu ilmiah sampai dosen tidak mengerti, bagaimana bagaimana bagaimana. Ini bukan lagi soal aku yang tertarik ke kanan atau ke kiri, tetapi berusaha menyeimbangkan kesemuanya. Aku mau ilmuku di farmasi berkorelasi dengan nilaiku, meski terseok dan bermuara pada penindasan semena-mena yang kulakukan pada tubuhku.

            Aku melihat lagi beberapa nilaiku. Kalau tidak AB, ya BC. Kalau tidak 74, ya 64. Apa? Miris sekali, padahal mungkin poin 0,8 akan mengubah segalanya. Dalam proses bersyukurku, aku menemui lagi, tension of opposites. Aku marah tapi tidak tahu pada siapa. Ini jelas bukan salah siapa-siapa. “Tuhan, aku jujur loh, Tuhan lihat khan?” tanyaku. Iya, kalau boleh digeneralisasikan, semua mahasiswa farmasi akan demikian lah. Maka, setelah terpuruk dua menit, aku menghadirkan sebuah teori kehidupan yang akan membuatku lebih tegar menghadapi nilai untuk selanjutnya. Jika nilaiku X dan aku jujur, Tuhan akan menambahkan nilai 100 untukku. Lalu, berapa nilaiku? Nilai farmasi-kehidupanku adalah X ditambah 100 dibagi dua. Itu saja, sederhana!

            Aku kuliah bukan untuk nilai. Aku kuliah karena ini adalah fase lain yang akan menambah kosakata dalam kehidupan. Tak hanya kosakata, aku kemudian akan paham pola kalimatnya. Begitu pun ujian. Aku suka sekali kalimat dosen pembimbingku, Bu Esti. “Orang kalau mau maju itu harus diuji.”

            Sudah lebih dari tiga tahun aku di farmasi. Aku belajar mengendalikan emosi-emosi abstrak saat menemui tension of opposites. Kalau dibilang susah, farmasi memang susah. Akan tetapi, ada nilai kehidupan yang tidak bisa dijelaskan saat berhasil melalui satu demi satu tingkatannya. Mata kuliah, praktikum, teori yang berlawanan dengan dosen atau teman, deadline tugas, perubahan menjadi ‘sedikit’ introvert atau apalah itu, akan menempa diri menjadi pribadi yang kuat, kita bahkan menjadi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan irasional yang dilontarkan diri sendiri. Intan saja harus melewati proses yang dinamakan ‘pengasahan’. Dan, intan akan tetap menjadi intan walau di tumpukan lumpur sekalipun.

Terakhir, inilah inspirasi yang berusaha kutebar untukku dan sekelilingku. “Keberhasilan adalah ukuran yang diciptakan orang lain, kepuasan adalah ukuran yang diciptakan diri sendiri. Untuk apa berhasil kalau tidak puas?” (intan)

My Instagram