Teater


“Mengapa tinggal, jika cinta menyuruhnya pergi?” tanggap Demetrius pada mantan kekasihnya, Helena, yang sampai saat ini masih tergila-gila padanya, sangat tak ikhlas hatinya berpaling pada Hermia.
 “Kamu yang menarikku, kamu magnet bagiku. Bukan besi yang kamu tarik, tapi hatiku yang sekeras baja. Lepaskan daya tarikmu, dan aku takkan punya daya untuk mengikutimu,” jawab Helena berkeras hati, benar-benar berusaha menunjukkan perjuangan cintanya pada Demetrius.

Dalam sekali ya bahasanya? Aku sejak dulu sangat menginginkan diriku terhenyak di kursi khas gedung pertunjukan, memandang tak jemu ke sosok-sosok yang bergerak di panggung indah dengan sorotan lampu terang, bergumam kagum dan bangga, karena imajinasiku berhasil digiring. Aku selalu suka, selalu akan teriak dan tepuk tangan segenap jiwa, mungkin karena sudah lama sekali tak menyaksikan yang begini. Terakhir entah kapan, aku menonton pertunjukan kawan SMA-ku di Bali.

Aku juga anak teater, pada masanya. Aku punya passion tak seberapa –yang sebenarnya bisa terus digali dan akan berbuah manis jika terus dijalani, pada skenario dan lakonnya. Aku menikmati saat dapat peran dan berbinar saat diberi tanggung jawab menjadi bagian dari tim skenario. Belakangan, aku sempat mewarisi ilmu kakak kelasku sebagai stage manager (keren ya).

Aku ini anak teater, pada masanya. Kami teriak keras-keras di lapangan upacara saat latihan vokal, kami lafalkan angka 1-100 dengan lantang. Dan kami juga melakukan tradisi anak teater, pulang malam. Semua itu kami, terlebih aku, lakukan tanpa paksaan. Aku sedikit menganalisis gaya bahasa yang aku gunakan selama ini, cenderung diplomatis dan hiperbolis. Teman-teman bahkan berani mengatakan aku ini sangat alay. Hahaha, kalaulah itu pujian, terima kasih banyak. Mungkin ini karena aku dibesarkan di dunia teater.

Kembali ke masa kini, aku cukup puas sebagai penikmat, kecuali ada setrum yang menghendakiku banting setir. Teater yang berdurasi lebih dari 3 jam oleh Teater Sastra UI ini manis sekali. Panggungnya megah, mereka bahkan punya tim musik sendiri, talent-nya totalitas, sutradaranya berbakat, mereka juga disupport oleh panitia yang rela kerja keras. Mereka membuatku ingin main teater lagi!

Ceritanya tentang Hermia yang cinta matinya pada Lysander, sementara ia dijodohkan dengan Demetrius yang kisah cintanya belum benar-benar selesai dengan Helena. Dalam malam kelam di tengah hutan, justru ada kawanan makhluk halus (bangsa jin) yang mengganggu hubungan mereka. Lysander dibuat suka pada Helena, begitupun Demetrius. Hermia yang tadinya dicintai kedua pemuda itu malah jadi tercampakkan. Sementara Helena jadi keheranan mengapa semua jadi berbalik mencintainya, menurutnya itu adalah bercandaan kelas teri, tidak elit sama sekali –justru terkesan merendahkannya. Belum selesai di sana, di hutan yang sama, Titania (ratu peri) pun dibuat jatuh cinta dengan Nick Bottom –makhluk setengah manusia setengah ayam. Ada lagi, Raja Theseus dan Ratu Hippolyta yang ceritanya kerepotan mengurusi percintaan anak muda yang semrawut. Pada intinya, kesemua itu hanya mimpi.

William Shakespeare hebat ya, terpikir membuat cerita seperti ini. Tak seperti tragedi Othelo dan Macbeth, Midsummer Night’s Dream sangat kocak dan menyenangkan. Hai, aku sungguh akan nonton pertunjukan seperti ini, lagi, suatu hari, denganmu (swaha).

Kagumku masih hinggap hingga hari ini, tak mau pergi. Biarlah bahasaku kacau, yang jelas aku merasa tergerak mengabadikan ini untukku saja, sebelum benar-benar lupa karena kesibukan. Pada saat usai dan talent diperkenalkan satu-persatu barulah aku sadar. Mungkin aku selama ini menolak sadar atau tak pernah dapat jawaban bagus. Tetapi tidak kali ini, begitulah. Aku dengar mereka yang berada di naungan teater ini masih terus memperkuat pondasinya walaupun mereka sudah alumni. Aku mengalirkan penyimpulanku seperti ini.

Teater itu hobi saja. | Oh aku rasa tidak, buktinya mereka yang sudah bertahun-tahun menjalani tidak meninggalkan. | Kalau sibuk kerja, mana mungkin bisa teateran? | Buktinya mereka bisa, berarti ada sesuatu. | Lingkungan? | Kurang lebih, tapi ada yang lebih hebat dari itu. | Memang bisa makan ya kalau mengandalkan hidup dari teater?| Itu persoalan lain. Lagipula jangan salah, semakin berkelas, semakin mahal teater itu, semakin terkenal, semakin sejahtera anggotanya, semakin bahagia dengan pilihan berjuang pada passion. | Apa? | Coba lihat ekspresi orang-orang, terlebih diri sendiri saat pertunjukan berakhir. | Aku benar-benar bahagia. | Itu dia! | Mengapa ada orang-orang yang tetap bertahan di teater walaupun tak sedikit yang menyatakan dunia ini kejam sekali? Itu karena mereka ingin membahagiakan orang lain dengan cara yang mereka yakini mampu, dan mereka ikhlas melakukannya. Mereka dapat 2 poin penting, membuat diri sendiri puas dan membuat orang lain senang hingga bahagia.

Selamat! Terakhir, aku suka tagline-nya, mewakili sekali.
“Akal dan cinta, memang jarang bertemu sekarang..” –Nick Bottom.

My Instagram