Truth or Dare


Semester lima. Cerita lama.

Semua menoleh ke arah Dira, segera setelah botol itu berhenti berputar. Dira gelagapan, memandang ke segala arah.
“Hahaha, ke Dira juga ini botol ya! Finally! Eureeka! Ini yang aku tunggu-tunggu,” Ania bersorak. Risky menyikut lengan Abimanyu, seperti mengatakan ‘inilah waktunya.’
“Allright then, dear Dira yang alay, you just have to answer only 3 questions, honestly!” Abi memulai, mengingatkan lagi jika mereka sedang main ‘truth or dare –permainan anak muda, selalu seru dimainkan terutama saat bermalam di luar kota, bersama teman-teman dekat yang super kepo satu sama lain.
Angga diam saja, setengah-setengah mengecek tabnya, seperti biasa, game tidak pernah tidak menyenangkan baginya.
“Satu! Kamu ketawa terus ya orangnya, banyak tugas apa besok presentasi fitofar, masih aja ketawa. Hal nggak lucu apalagi! Ada apa sih?” tanya Abi. Angga langsung menutup aplikasinya, tiba-tiba saja.
Dira tertawa. “Fellas, actually I couldn’t realize what I did. It’s too spontaneous, I’m not sure that I’m laughing all the time. Ehmm, let me tell you something. Psychologist says if a person laughs too much, even at stupid things, he is lonely deep inside.” Lingkaran 6 orang itu merapat. Berpandang-pandangan.
“Dira, how could you? Kesepian? Kok...” Tara mengiba.
Ania bergerak-gerak aneh, memberi isyarat pada Tara untuk menghentikan kalimatnya. It means dia akan menghanguskan 1 kesempatan emas untuk menggali seorang Dira, secara Dira selama ini tidak pernah terbuka (soal seperti itu).
“Oh sorry Dir, maybe we can clarify it to you next time! Nevermind, ahahaha.” Tara melanjutkan, sadar Ania bergerak tak wajar.
“Padahal aku sengaja lho ngasih jawaban yang bakal bikin kalian ngegali lebih dalemnya ke hal itu, bukan yang lain. Ah gagal!” Dira menanggapi.
Angga masih diam saja. Wajahnya terlalu datar, semua yang di sana tak yakin dia mendengarkan dengan serius.
“Ah Dir, kamu gampang ditebak! Lanjut ya.” Risky mengambil kendali. “Dear all, give me this chance, pleaseeee.”
Dira deg-degan. Pertanyaan selanjutnya sudah pasti akan lebih heboh. Belakangan Dira memang sensasional, karena hubungannya dengan...
“Dira, sorry at all ya kalau kita nanyanya yang ini. Kenapa sih susah move on dari Wika? Eh bro, bener Wika khan namanya? Ya kalau masih sama-sama suka, ngapain putus? Payah ah, Dir!” tanya Risky tak yakin. Dira dan Wika memang menebar rasa penasaran satu kampus, setidaknya dua tahun ini.
Raut muka Dira berubah jadi sedih, nyata sekali. Pandangannya tak jelas, pasti sedang mencari jawaban diplomatis yang tidak menunjukkan sisi sedih kedua pihak. Tapilah, Dira sadar dari awal dia diajak mendaki oleh teman-teman serunya, hal ini pasti akan terjadi.
Dira tertawa lagi. Tawa yang aneh, bukan tawa ceria. Itu lebih terdengar seperti tawa miris, setidaknya bagi Angga.
“Aku harus ngejelasin dari mana wooii!” Dira bingung, menggaruk-garuk lantai.
“Ya tinggal jawab aja, Sob, inti dari acara ini adalah #JujurJuaraSatu,” tanggap Ania.
“Iya, oke oke. Somehow, aku ngerasa kalau teoriku yang bilang ‘Jodoh itu bermasa’ itu bener deh, Sob. Jadi untuk hal ini pun aku akan jawab gitu. Untuk soal move on, mungkin masalah waktu ya. Yang jelas, dia itu whole package yang aku inginkan in the world, tapi nggak bisa, nggak boleh, whatever.” Dira tertawa lagi. Hening. Suasana jadi berbeda.
“Eh kenapa jadi kikuk gini? Dir, don’t be sad ya, jangan sedih, don’t worry be happy! Ada kita kok yang bisa bantu kamu yang belum move on, terus apa lagi tadi, kesepian.” Tara merangkul Dira, pas di sampingnya. Dira tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Tara. “Ah, kamu dalangnya, Taaaar!”
“Last question!” Ania mengedipkan mata pada semua. Ini dia klimaksnya!
“Kenapa nggak sama Angga aja? Kalian khan sama-sama sendiri, sama-sama aneh juga.”
Dira lebih kaget mendengar pertanyaan ini, dibandingkan yang kedua. Pada saat seperti ini, dia benar-benar tidak berani menoleh pada Angga. Apakah semua yang sudah dibatasi Dira akan terbongkar?
Dira diam lama sekali. Abi, Ania, Tara, dan Risky menanti. Angga salah tingkah.
“Stop, stop! Nighty morning nih, guys. Kasihan Dira juga.” Angga bersuara.
“Angga, can you just listen to her? Ini informasi penting buat kamu!” Abi melempar bantal ke arah Angga.
“Ini, pernah diwacanakan, tapi nggak aku pikirkan,” jawab Dira cepat.
“Dir, jawaban yang ini nggak nyambuuuuung!” rengek Tara.
“Kasihan lah Angga kalau dapetnya orang kaya aku. Udah alay, weird, anggun aja nggak sama sekali,” Dira menunduk, takut ekspresi malunya terdeteksi jelas.
“Alah Dir, ngapain kasihan sama Angga. Angga juga khan weird, oops! Weird + weird = love.”
“I’m not that weird!” teriak Angga.
“Lagian masa gitu jawabannya? Nonsense tau! Kalau kamu jawabnya gitu, itu berarti berlaku untuk semua cowok.”
“Kalau alay ya, kita ini udah ketularan alay. Liat aku, Ania sama Abi, kita buat ‘double A’. Liat Tara sama Risky, mereka join names jadi ‘Tari (Tara-Risky)’. Hayooo, mau apa?” Ania berkomentar.
Dira tertawa lagi.
...
“Dir, kamu nggak perlu jadi orang lain,” tiba-tiba Angga berceletuk seperti itu saat menoleh ke arah Dira, yang tepat di sebelahnya.
...
“Wait, apa barusan? Ciyeeeee!” sorak Abi. Yang lain tersenyum. Itu senyuman kode, kode bahwa sebentar lagi akan ada lagi kawan mereka yang jadian.
“Wah, bentar lagi ada yang move on! Maksudku, ada yang bantuin move on sampai ke akar-akarnya.”
Dira dan Angga tersenyum. “Thank you, Truth or Dare –March 9.”

My Instagram