“Gimana, In? Kerja udah mau empat bulan,” Ibuku membuka obrolan di
tengah-tengah macet. Aku, akhirnya berhasil pulang lagi, setelah sekian lama.
Ayah, ibu, dan adik adalah malaikat yang selalu selalu selalu ingin aku temui,
sesering apapun aku bertemu.
Ayahku tetap berkonsentrasi pada padat merayapnya jalan malam itu.
Tapi, aku tak sangka ayahku bisa juga mendendangkan lagu ‘Perfect Love’ yang
terputar di radio. Aku tersenyum, sambil memandangi pantulan wajahku di kaca
mobil. Ada rintik-rintik air yang hinggap, dan jadi indah sekali saat bersatuan
dengan cahaya lampu jalan.
“Astungkara (=alhamdulillah/ puji Tuhan, red),” jawabku dengan nada
kecil.
Hari ini ayah dan ibuku menemaniku pergi main, ke tempat yang aku
kehendaki. Adikku di rumah, dia bilang sedang dalam minggu ujian. Aslinya sudah
kuseret, aku bilang juga padanya bahwa aku adalah tamu agung yang butuh
pelayanan khusus, harusnya disambut dan diantar kemana-mana. Namun sekali lagi,
dia punya tanggung jawab dalam keras hatinya. Dia memang giat sekali belajar – meanwhile, otak kanan dan kirinya
seimbang.
“Tapi sebenarnya, Ma, Intan pingin punya tempat kerja yang dekat sama
Pura,” sambungku.
Ibuku geleng-geleng. Lalu ayahku. Hujan sudah reda.
“Intan nggak boleh gitu. Rumah Tuhan itu ada di hati Intan,” Ibuku
mengarahkan tangannya ke dada.
Aku tersenyum lebar sekali. Entah ya, kata-kata itu selalu terngiang
bahkan sampai di dini hari ini.
Kesimpulannya, aku sayang ayah ibuku. Merekalah yang selalu berhasil
membuatku mencintai Tuhan dalam keterbatasanku.