Menulislah, Intan

Rasanya seperti dibangunkan lagi.
Sungguh, lama sekali aku tidak menulis dan ini jelas bukan aku.
Aku berubah jadi orang lain, pura-pura sibuk seperti orang berusia 20 tahunan ke atas yang baru pertama kali kerja, tapi pikirannya kemana-mana. Menulis, membaca, olahraga, main, memikirkan kado untuk 24 orang terkasih, belajar masak, menajamkan bahasa Inggris, mencari-cari waktu menghubungi ayah ibu dan adik, mengonsep ulang kamar, mengeluarkan isi lemari yang sudah seharusnya tidak di sana, mencuci motor sampai bersih, memilah baju-baju layak yang bisa disumbangkan, menyampul semua buku kesayangan, duduk manis mendengarkan acara talkshow berbobot atau berita sampai selesai, membaca koran, belajar senyum, mendesain stiker, menempel kata-kata motivasi dan foto-foto running buddies di tembok sebelah kiri, lebih dari rajin cerita ke Tuhan, lalu apa lagi?

Kuulangi, aku berubah jadi orang lain, aku sekarang pura-pura sibuk hingga pekerjaan yang menari terus di pikiranku ini tak semuanya bisa kurangkul.
Aku selalu berkata, “Nanti ya!” atau “Ah, bisa kok!”
Aku tidak sedang memaki diriku, aku cuma seperti duduk di seberang jalan melihat kembaranmu melakukan hal konyol yang seharusnya tidak dilakukannya. Aku tidak sedang menyalahkan diriku, aku cuma seperti seorang ibu muda yang rambutnya pendek, yang adalah wanita karier, yang membangunkan anaknya suatu pagi walaupun dia tetap terjaga hingga pukul 2 dini hari.

Tulisan random yang aneh ini adalah suatu titik balik. Kutulis dalam keadaan sangat jenuh sehingga kurang bisa berpikir jernih, namun syukurlah aku masih bisa menulis. Aku cuma ingin bilang pada diriku sendiri bahwa sejenuh-jenuhnya pikiranku terhadap kerjaan atau penyalahan orang lain atas tindakan yang tidak pernah sekalipun kulakukan, menulis bisa mengembalikan pikiranku ke jalannya –jalan yang seharusnya, dalam nalar terbaik seperti yang aku curahkan saat menulis.

Menulislah, Intan, menulislah sejenuh apapun keadaanmu.
Menulislah, Intan, walaupun dalam keadaan sibuk hingga berubah menjadi orang lain.
Menulislah, Intan, karena kau tidak pernah tahu siapapun yang jatuh cinta (dan lalu termotivasi) saat membaca tulisanmu.
Menulislah, Intan, karena kau tahu pasti itu yang bisa kau lakukan secara maksimal dengan referensi mata, pikiran, dan tangan itu.
Menulislah, Intan, tak peduli seperti apa hasilnya.
Menulislah, Intan, bagilah yang kau punya, walau hanya untuk dirimu sendiri –karena pikiran kadang tak sebaik itu, ia bilang akan mengingatnya tapi setelahnya ia tak begitu ingat detailnya –bukan salahnya, hanya menulislah.
Menulislah, Intan, kau sangat menyukainya.
Menulislah, Intan, demi aku.

Tulisan padat tak berarah ini adalah tulisan pertamaku dengan layar super besar yang pernah kumiliki –tak akan kudapatkan di tempat lain jika tak di kantor, tulisan pertamaku dengan menutup email dan desain-desain barang sebentar. Ini cuma aku yang memilih mau atau tidak untuk mendengarkan keinginanku tanpa mengesampingkan apapun, hanya membuat semuanya seimbang dan yang paling penting membuat hati bahagia seperti yang diinginkan terjadi.
Pilihan untuk mengikuti hati sudah selalu aku lakukan dan hasilnya lebih baik. Harusnya ini pun berfungsi baik pada keputusan untuk menulis setiap aku jenuh. Sini aku tunjukkan. Aku duduk menanyakan kabar seseorang yang terlihat sangat murung karena hatiku menginginkan dan lalu aku jadi sahabatnya. Aku tersenyum pada bapak yang sedang bosan mengantri karena hatiku menginginkan dan lalu aku didoakan dilancarkan usahanya (pada saat itu nyatanya berhasil). Tuhan memang luar biasa, selalu ada campur tangan Tuhan di pilihan yang berdasarkan hati.

“Jadi, Intan, menulislah saat hatimu ingin menulis, itu membuatmu sangat bahagia hingga kemudian menjadi maksimal di pekerjaan yang sedang kau upayakan. Jika sudah bahagia karena berhasil mengubah mindset, kau akan mengerti mengapa tarian-tarian pikiranmu itu tak berjalan sesuai kehendakmu, kau akan mengangguk setuju ini cuma masalah waktu, komitmen, kemauan, dan prioritas,” kata hatiku.

Menulislah, Intan.

My Instagram