Sawang Sinawang/ Believing is Seeing

Sawang Sinawang
26 Januari, ada insan yang dikirim Tuhan untuk mengguncangku, jauhnya –membuatku mempertanyakan kembali apa tujuanku hidup di dunia, membuatku berpikir ulang tentang ambisi yang terus menerus aku ucap dalam doa walaupun tak ada usaha menggebu ke arahnya.

“Kenapa ambil ilmu packaging? MEMANG INDONESIA BUTUH?”
Aku terdiam dan jadi tidak bisa berpikir jernih. Aku melontarkan semua jawaban yang semu, tak bisa ditangkap nalarnya. Tuhan, aku benar-benar meninggalkan ruangan dingin ini, aku ingin menangis sejadinya, aku melihat mimpiku runtuh hari itu.
Tuhan yang mengajariku percaya pada sebesar apapun mimpiku, Tuhan bilang “Lakukan yang kamu bisa, Tuhan sisanya,” lalu apa? Karena tak mungkin aku marah pada Tuhan, aku menghancurkan diriku sendiri, aku katakan pada sekitar bahwa aku tak punya masa depan, apa yang aku lakukan tidak ada hubungannya dengan prioritas pembangunan Indonesia, aku minta maaf karena aku hidup kurang berguna.

“Aku rasa aku berada dalam passion-ku. Hasil mengabdi/ belajar/ bekerja/ apapun akan maksimal jika disertai passion.”
“Banyak orang bicara soal passion di sini. Tapi passion saja tidak cukup untuk membangun Indonesia.”
Aku sebenarnya tidak terlalu kuat menulis ini, hanya saja aku harus menatanya dalam tulisan agar sisi bijakku lebih bekerja –dalam menulis, biasanya aku akan mengarahkan pikiranku pada sisi yang paling positif. Kalau diingat-ingat, aku sedih sekali. Aku heran mengapa ya aku jadi membanting sikap menjadi dingin begini, aku tidak percaya lagi pada mimpiku, padahal ibuku bilang ‘kegagalanku’ ini tidak akan menjadi soal.

Aku sampai sempat mempertanyakan mengapa aku kuliah farmasi, mengapa aku tak langsung S2, mengapa bisa aku bekerja di sini, dan mengapa-mengapa lainnya –sungguh hal bodoh. Ibuku bilang itu semua sawang sinawang! “In, kita tidak pernah tahu tentang masa depan. Itu semua terjadi begitu saja dengan campur tangan Tuhan. Mungkin kita harus berada di tempat ini, untuk mendapatkan berkah yang tidak kita duga sebelumnya. Mungkin kita harus berada di fase ini dulu, sebelum akhirnya menjadi sangat bersyukur dengan keadaan yang kita jalani sekarang.”

Rasanya aku terlalu berfokus pada masa depan ideal yang ingin dimiliki semua anak muda –ya itu mimpi indah. Akan tetapi, aku lupa menikmati masa ini, memaksimalkan diri belajar hal-hal memuliakan misalnya. Aku suka kata-kata yang kutemui tak sengaja, ‘Jangan terlalu memikirkan masa depan. Hiduplah di masa ini dan berbuat sebaik-baiknya.’

Insan yang mengatakan hal kejam kepadaku, mengganggap mimpi besarku tidak terlalu penting dan tidak ada hubungannya dengan Indonesia di masa mendatang, sebenarnya adalah bagian dari sawang sinawang. Mungkin mereka tidak sengaja, mungkin mereka adalah katalis pembentukan mental bajaku, mungkin merekalah yang justru membawaku menjadi orang hebat dan pada akhirnya berguna bagi pembangunan Indonesia. Aku tidak perlu jadi orang lain, bicara melulu soal masa depan ideal. Aku begini saja, mungkin ada waktunya aku lebih peduli sekitar dengan caraku. Jalan menuju mimpiku masih banyak karena aku yakin ketika satu pintu ditutup, 1000 pintu lain akan terbuka. Karena apa? Karena sawang sinawang, kita tidak akan pernah tahu!

Kita selalu bangga menjadi sombong, pura-pura tahu masa depan seperti apa yang baik dan lalu berkeras membuat rute mencapai masa depan ideal. Jadinya, saat orang lain bicara tentang kemungkinan yang lain –yang dilihat dari sisinya, kita jadi tidak siap karena terlalu idealis, mati-matian mempertahankan masa depan ideal. Tak apa sih punya mimpi besar, tapi kalau dapat hadiah mimpi besar lain yang jauh lebih indah dari yang kita bayangkan, why not? Kita selalu lupa ada Tuhan, yang benar-benar tahu apa yang terbaik untuk kita. Masalahnya, mau/ tidak kita menunggu selama waktu yang tidak terduga. Sekali lagi, segala sesuatu indah pada waktunya.

Believing is Seeing
Terkait dengan introku di atas, yang terjadi padaku sesungguhnya hanyalah aku belum siap pada jalan lain yang ditawarkan Tuhan. Cuma belum kok, semakin aku jauh melewati hari itu, aku akan siap. Setelah menulis ini, aku jadi ingin menertawakan masa itu, ternyata ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan menuju mimpiku. Kalau Tuhan bilang belum/ bukan, ya diutuslah insan untuk mengakhirinya. Malah baik sekali, aku diberikan guncangan pula oleh insan utusan Tuhan! Itu pasti agar aku lebih matang jika suatu hari ini terjadi lagi. Mungkin saja khan, di kali lain, aku bersikeras lagi dengan mimpiku, lalu Tuhan bilang bukan itu jalannya, lalu diutuslah insan lain lagi dengan guncangan yang sama. Di saat itu nanti, aku tidak akan seterpuruk ini –karena aku sudah pernah berada di posisi itu, mengalami dan merasa sok menderita.

26 Januari lalu aku tetapkan sebagai hari mengikhlaskan. Dalam tulisan ini pula, aku deklarasikan satu lagi kampanye hidupku –setelah ‘Jangan lupa bahagia’, ‘Don’t forget to be awesome’, dan ‘Tak ada yang sia-sia’. BELIEVING IS SEEING.  Bersyukurnya aku saat dalam penataan hati seperti ini, Tuhan memberiku bacaan menguatkan –baru kemarin, saat seorang diri berdiri di KRL penuh menyusuri Depok, sepertinya melakukan perjalanan hati, dengan fokus yang lain. Terhadap mimpiku, aku akan percaya sekuat-kuatnya, maka aku akan melihatnya terjadi seperti itu/ lebih baik dari itu di masa mendatang. Mari aku tunjukkan penggalan paragrafnya.
Keterpaksaan untuk berubah, terutama mengubah cara dan pola berpikir seseorang, sangat berhubungan dengan tingkat kepercayaan. Ketika seseorang dipaksa untuk berubah, maka dia punya pilihan pribadi: saya mau berubah jika saya dapat melihat terlebih dahulu hasil perubahan itu. Kalau saya melihat perubahan situasi akan membawa nasib lebih baik, saya akan serta-merta ikut. Atau kendati saya belum melihat apa manfaat perubahan itu, jika saya percaya nasib saya akan lebih baik, saya mungkin masih memperimbangkan untuk ikut. Oleh karena itu, ketika kita membayangkan akan mengubah cara pandang, gaya hidup, dan kebiasaan seseorang, maka apa yang ada dalam benak manusia –yang sudah menjadi keyakinan dan simpanan memori selama sekian tahun –harus bisa dihancurkan, dicairkan, dilumerkan terlebih dahulu sampai orang siap menerima perubahan. Baru setelah itu mungkin orang sanggup menerima hal baru yang akan ditanamkan dalam benaknya. 
Kembali lagi: manusia cenderung yakin dan percaya ketika semua sudah kelihatan di depan mata, sudah kelihatan buktinya, dan sudah tinggal meraih dengan tangannya. Karena dia melihat, maka dia percaya. Bukan sebaliknya. Karena dia mempercayai sesuatu, maka dia akan membuat kepercayaannya itu menjadi kenyataan. –Buku Memetik Matahari, Agung Adiprasetyo (CEO Kompas Gramedia).
Well said! Untuk semuanya, sadarlah bahwa semua ini sawang sinawang, tapi arahkan pada pilihan believing is seeing.

My Instagram