Aku hanya tidak tahu mulai dari mana, lalu ke mana akan melangkah.
Sebenarnya jika semua orang yang melintasi mejaku
pekan itu tersenyum dan bertanya “Mau ke mana?,” sungguh, aku tak punya jawaban
bagus kecuali jawab klise ini –“Aku ingin berguna bagi orang lain, dengan
caraku.”
Kenapa klise? Jelas, karena jika kau ingin berguna
bagi orang lain, kau tak harus menempuh jalan ini. Apa tadi? Aku juga
menambahkan ‘...dengan caraku.’ Hampir semua orang akan berkata hal yang sama, “Ya
sudah, tetap di sini, bantulah orang lain dengan ikhlas, cintai yang kau
lakukan saat ini, sertakan caramu yang berkesan agar mereka bisa merasakan ini
tidak akan sama jika dikerjakan oleh orang lain.” To be honest, I’ve done that.
Aku selalu berusaha memprioritaskan kepentingan orang lain, terus menerus
memperbaiki pekerjaanku agar aku berhasil membantu mereka, dan berakhir dengan
senyuman sangat lebar. Tidakkah aku puas? Aku lebih dari puas.
Aku tersenyum, sambil memikirkan lingkungan
menyenangkan yang aku ciptakan, yang pada akhirnya justru aku tinggalkan (aku
nyatanya tidak pernah benar-benar meninggalkan), aku menjawab, “Ada rencana
lain.” Sederhana? Karena memang mimpiku, apa yang ada di pikiranku, sesederhana
itu.
Pada akhirnya aku punya cuti, aku pulang ke rumah.
Hari itu terik, Ibuku memilihkan setelan putih dan
celana jeans untukku. Hari itu adikku menemaniku menyelesaikan misi. Aku
berangkat membawa surat rekomendasi, aku menemui orang penting. Namanya Ibu
Manges, rata-rata orang memanggil beliau Prof. Entah, aku tetap memilih
memanggil beliau Ibu, kecuali suatu hari beliau yang minta. Bagaimanapun aku
memanggilnya, beliau selalu kuanggap sebagai guru yang bersahaja, karismatik,
dan kusayangi. Beliau adalah orang yang memujiku di depan seluruh mata penduduk
Jawa Timur yang hari itu menyaksikan (sekali lagi terima kasih Ibu, semoga
sampai saat ini Intan masih pantas menyandangnya). Kami berdua pernah diundang
sebuah stasiun TV lokal, berbincang pagi soal peran wanita dan pendidikan dalam
era emansipasi. Aku mungkin tidak pernah bisa menunjukkannya padamu, para kru
mengaku mereka tidak pernah menyimpan tayangan yang disiarkan langsung.
Ibu ada di ruangannya, dengan pakaian hijau
kebiruan kalau tidak salah, dan kerudung keemasan. Pada malamnya, aku tidur di
bandara, ini membuatku telat dari jadwalku seharusnya (...seharusnya ada di
cerita selanjutnya). Aku –yang kata orang sedang mengejar impian, berusaha mengingat
kembali percakapan hari itu, gambarannya tidak terlalu jauh dari ini.
“Ibu, selamat pagi, maaf Intan telat.”
“Silakan duduk,
Intan. Gimana, gimana?”
Aku memberikan surat rekomendasi yang beliau tulis
sendiri poin-poinnya terhadapku. Sebelum akhirnya tanda tangan, Ibu mengklarifikasi.
“Yakin tidak apa seperti ini? Tidak ada yang mau
diperbaiki?”
“Iya Bu?”
“Ada yang mengharuskan semua karakter yang
direkomendasikan sangat baik, kalau tidak sangat baik, nanti hasilnya kurang
memuaskan.”
Aku buru-buru menjawab, “Sudah bagus itu, Bu. Ibu
menulis seperti itu saja Intan sudah bersyukur.” Aku paham sekali maksud
beliau. Temanku yang sebentar lagi akan terbang ke Belanda bilang itu wajar,
tidak ada tokoh/ perekomendasi yang rela jika anak yang direkomendasikannya
tidak diperhitungkan hanya karena urusan seperti ini. Aku kembalikan lagi ke
tujuan awalku, sejak awal aku memang benar-benar ingin tahu seperti apa aku
dilihat orang selama ini. Tidak ada intervensi, tidak ada arahan, dari awal aku
hanya ingin mengusahakan semua ini dengan cara yang sangat fair, karena hal ini
adalah alasan mengapa aku membuat keputusan sebesar ini, sementara anak-anak
seumurku akan jelas memilih mengusahakan hidupnya dalam zona nyaman.
“Bagaimana pekerjaan?”
“Baik, Bu.”
“Intan sudah puas dengan yang didapatkan?”
“Syukurlah masih ada banyak yang disimpan, Bu. Ya
tapi dikembalikan ke prinsip ‘ada uang, ada barang’ sih bisa.”
Ibu mengangguk. “Saya agak heran ya, kenapa
anak-anak sekarang terlalu berorientasi pada hal materiil?” Dari pertanyaannya,
Ibu mengajakku diskusi ke hal yang lebih global, kami melihat fenomena sekitar,
jelas tidak bicara tentangku.
“Karena kebutuhan.”
“Iya, bisa jadi. Tapi kalau kurang, apa harus
dengan mengeluh lalu menyalahkan pekerjaannya? Padahal ya, saya dulu, saya
yakin ibumu juga sama seperti saya, generasi dahulu akan melihat ke kesempatan
berkarya, mungkin salary jadi prioritas kesekian.”
“Kalau begitu sepertinya Intan juga di pihak Ibu,
deh. Kesempatan tidak datang dua kali. Selagi ada, semua dicoba.” Tidak ada
yang lebih menyenangkan daripada menemukan orang yang sejalan.
Ibu mengangguk lagi. “Saya ya, kalau masih semuda
kamu, pasti masih ingin mencoba banyak hal, mencari dan mungkin menciptakan
kesempatan itu.”
Waktu terus berlalu.
“Ini juga bisa dihubungkan ke attitude. Saya sangat
menyayangkan generasi sekarang yang banyak sekali maunya, mudah menyerah, mudah
menyerah dan menyalahkan keadaan...”
Aku menyambung, “Mungkin karena kami diajarkan
seperti itu Bu. Perkuliahan menuntut dan sangat menyanjung hasil, melupakan
proses.”
“Iya, anak-anak sekarang kurang sekali belajar
soft-skills.”
“Soft-skills! Pada kenyataannya, Intan sudah
merasakan sendiri. Di tempat kerja Intan tidak ada lagi yang bicara almamater,
terlebih berapa IPK-mu. Kalau berhasil menciptakan lingkungan kerja yang baik,
rekan-rekan kerja akan bersinergi, sama-sama memancarkan energi positif, dan
sebaliknya.”
“Kamu sekali-kali bicaralah di depan adik-adik
kelasmu, ceritakan seperti apa dunia kerjanya nanti. Biasanya mereka akan
mendengarkan orang yang jelas-jelas sudah terjun ke dalamnya.”
Aku tersenyum. Sungguh, aku suka sekali hal ini.
Maksudku, menebarkan energi positif bagi orang lain, walau tak diikuti,
setidaknya aku memberinya gambaran sehingga tidak ada lagi kata sadar
terlambat.
“...”
“...”
“Jadi sekarang mau menjemput mimpi?” Well, kata
mengejar aku ubah menjadi menjemput, beberapa atasanku bilang kalau dikejar,
dia akan lari, gunakan menjemput saja, dia tidak akan lari, karena begitulah
takdirnya.
“Iya, Bu.” Tidak perlu kujelaskan detail. Tatap
saja mataku, mereka bicara baik sekali tentang binarannya.
“Bagus sekali. Bagus! Tapi ada yang harus diingat,
Intan. Kalau kamu punya mimpi, kamu harus sabar. Kamu tidak akan penah tahu itu
kapan, tapi langkahkan terus usahamu ke arahnya. Harus sabar! Kamu masih sangat
muda!”
Aku tersenyum. Sepertinya aku butuh bicara lebih
banyak dengan orang yang sudah lebih dahulu menjalani kehidupan, agar aku tahu
ke mana sebenarnya prioritas kehidupan itu, agar aku tahu apa yang ingin sekali
dilakukan oleh orang yang tidak punya waktu untuk kembali.
Ibu berdiri setelah seorang karyawan
mengingatkannya. Hari itu beliau harus mengikuti rapat pukul 9 pagi.
“Kapan-kapan diskusi lagi ya Bu.”
“Tentu saja. Kamu bilang saja maunya kapan.”
“Ibu masih mau direpotin Intan?” Aku berceletuk.
“Tentu saja. Yang kita bicarakan tadi itu
sebenarnya sudah saya tulis semua di buku saya.”
“Ibu nulis di buku? Kalau ada, sini Intan beli
saja Bu.”
“Rasanya sedang habis dari penerbitnya. Nanti ya,
kalau ada.”
“Iya Bu. Semenjak kerja, Intan jadi jarang baca
buku. Tetap baca, tapi bacaannya berkurang.”
“Aduh Intan, jangan sampai ya, jangan sampai kurang
membaca.”
Aku keluar kampus dengan sumringah.
Rasanya lega sekali. Sederhananya, aku juga ingin
seperti ibuku atau Bu Manges, aktif menulis, berjiwa muda, berpikiran terbuka,
menebar energi positif melalui kontribusi/ caranya sendiri, bicara ke anak-anak
muda jika kesempatan itu harganya mahal sekali, lalu memarahinya jika mereka
kurang membaca. Sesederhana itu khan?
“Rezeki orang tidak akan pernah tertukar khan?
Tentu saja!” gumamku menatap langit. “Excuse me, God, ini surat rekomendasiku.”