Juru Bicara



“Amanda, kelas 12 IPA 1. Rajin membaca, rajin sembahyang, suka menyanyi.” Aku membolak-balik formulir setengah A4 yang kuberikan pada Ikhsan.
“Apa-apaan ini? Segini mah aku dapat apa?” tanyaku lagi, agak kesal.
“Butuh apa lagi?”
“Masih nanya? Nih, aku nggak punya banyak waktu ngurusin cowok nggak jelas kaya kamu. Aku ke next client aja!” Aku mengembalikan kertas itu, dengan sedikit paksaan.
“Besok ya.”
“Apa?”
“Tolong temani aku, cari tahu tentang Manda.”
Aku berpikir sejenak, memang besok jadwalku agak senggang.
“Klien yang aneh. Lihat besok ya.” Aku meninggalkannya di tengah lapangan basket sekolah kami. Tidak lama, aku menoleh. “Oi, jam 2 ya!”

Kenalkan, aku Rara, dari nama Raditia. Orang rumah memanggilku Diti. Aku biasa menyebut diriku Jubir –Juru Bicara. Aku lupa bagaimana awalnya, aku tiba-tiba berpikir mengapa kemampuan diplomasi yang aku punya tidak aku manfaatkan untuk mereka yang kesusahan. Oke, buat ini jadi lebih sempit. Dalam 2 tahun jam terbangku, aku fokus pada mereka yang kesusahan cintanya. Pernah sih membantu menyampaikan pesan penting, tapi mukaku sudah terlalu serius, aku ingin mengurusi hal yang lebih sederhana dengan serius.
Tidak, aku tidak memberi mereka tips yang terlalu bagus, hanya sekedarnya. Aku cuma membantu mereka mengungkapkan perasaannya –namanya juga juru bicara. Sungguh, aku tidak dibayar mahal, hanya senyum dan dua kali dapat flashdisk –itu pun sepertinya second, segel aslinya sudah terkelupas dan ada juga yang sudah tergores di sana-sini. Karena sangat terjangkau dan sangat handal –oh baiklah, kuakui ini pengakuanku sendiri, maafkan, aku selalu dapat sekitar 2 klien setiap 2 minggu. Hahaha, baiklah, 1 klien per minggu. Sedikit? Tidak juga. Maaaan, aku membuat pengakuan orang terasa sangat spesial, jelas lah aku butuh banyak waktu.
Coba kalian wawancarai saja Raja dari kelas 10-3 kalau sudah malas mendengar pengakuanku.
“Raja, tell me something you know about Raju.”
“Who is Raju?”
“Rara Jubiiiir.”
“Ahahaha, such a weird abbreviation. Rara asik.”
“Then?”
“Then, it’s enough.”
Hahaha, forget it. I’ll tell you by myself! Someday!

“Oi, datang juga?”
“Gimana kamu lihatnya deh.”
“Kok lesu? Banyak PR?” Guys, ini semacam basa-basi. Hati klien harus diindahkan dulu.
“Nggak juga, cuma ulangan dadakan.”
“Kelihatan dari mukamu. Ayo deh ke Pak Ateng aja, it’s secret.” Aku lari ke kantin, ada Pak Ateng di sana, penjual bakso ayam.
“Ya udah sih, ya nggak usah teriak-teriak juga.” Ikhsan mengikutiku.
Pak Ateng buka dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Jadi kalau kami datang jam 2, masih ada kira-kira 25 porsi orang normal yang bisa beliau sediakan. Aku kebetulan cukup dekat dengan Pak Ateng, karena selalu dan selalu, aku membawa klienku ke tempat ini untuk brainstorming awal. Tentu, dengan 3 mangkok bakso, aku 2 mangkok, klienku 1. Sejauh ini, mereka yang bayar.
“Sudah berapa lama kenal Manda?”
“1 tahun.”
“Sebentar ya.”
“Tapi intensif.”
“Sooook, mana buktinya? Formulirmu nggak ada isinya.”
“Aku lebih suka cerita sih yang begini. Kalau nulis tentang dia, apalagi cuma di formulir payahmu itu, 3 buku tebal aku rasa nggak selesai.”
“Dih, kamu ternyata malesin ya.” Aku menguyah baksoku.
“Kapan aku bisa cerita?”
“Nunggu apa lagi!”
“Dia duduk 2 bangku di depanku, tapi aku peduli.”
“Apa sih?” Aku tidak mendapat garis besarnya.
“Kamu bayar sendiri ya kalau intervensi aku sekali lagi.” Aku kemudian menutup mulutku.
“Kelas mulai jam 7, dia sudah di kelas jam 6.20. Walaupun hari itu dia nggak piket, dia rajin keliling kelas, ngumpulin kertas bekas di bawah meja sama di bawah bangku. Dia beda sendiri, dia paling beda! Dia duduk paling depan, rajin banget nulis pelajaran guru. Kalau udah waktunya ulangan, teman-teman pasti pinjam catatan dia. Dia orangnya jujur, di kelas nggak pernah nyontek. Positif juga, karismatik gitu aku ngelihatnya. Aku sering dengar celetukan positifnya ke teman-teman yang dapat nilai jelek di ulangan Pak Budi. Oh iya, dia disayang banget sama guru-guru, banyak guru yang ngedoain dia jadi orang besar di masa depan. Aku juga sering banget ngedoain dia.
Yang aku tulis di formulirmu kemarin, memang iya kok. Beberapa aku lihat, dia baca buku di kelas. Bacaannya bukan novel abal-abal, lebih ke bacaan inspirasi gitu. Aku yakin dia kelihatan sangat bijak dan bersahaja karena rajin baca deh. Aku juga mau sekeren dia, harusnya nggak pake nunda sih. Kalau sembahyang, aku sering ngelihat dia di padmasana belakang sekolah. Khan aku lagi ekskul pecinta alam tuh, dia ada di sana, kalau nggak metik bunga kenanga, dia sibuk nggapai-nggapai kamboja. Yang nyanyi, aku agak ragu sih, tapi suaranya berat banget, ngomong aja merdu. Pas pelajaran kesenian kapan hari, dia nyanyi lagunya apa tuh, The Cardigans – Carnival! Gilaaaa, merdu banget!”
Aku senyum-senyum sendiri. “Makasih ya San.”
“Bukan buat kamu kok.”
“Ya aku paham keles. Maksudku, makasih ya udah nggak ngelihat fisik pas cerita tentang Manda. Abisnya, klienku biasanya sukanya fisik banget sih. Pas ditanya, mereka berkelitnya dari mata turun ke hati. Iya kali ya, tapi nggak mateng ah perasaannya.”
“Memang apa yang kamu harapin dari anak SMA kaya kita?”
“Perasaan sedalam caramu cerita.”
“Aku boleh GR?”
“Kali ya.”
“Tapi tetap kamu bantu teman-teman yang suka fisik itu?”
“Iya. Gimana pun mereka itu merasa kesusahan mengungkapkan. Di situ biasanya aku ngelurusin dan nggali perasaan mereka.”
Ikhsan mengangguk.
“Sorry, kamu sama dia sedekat apa?”
“Tadi khan aku udah bilang. Jarak 2 bangku doang.”
“Bukan itu.”
“Kami nggak terlalu dekat. Aku hanya mengamati.”
Aku berusaha menunjukkan raut muka setenang mungkin, namun rasanya gagal. Ada raut sedih yang berusaha diungkapkan mukaku, kuharap Ikhsan tidak paham. “Wah, berarti kita benar-benar akan mulai dari awal ya?”
“Memang SPBU?”
Kini rasanya aku ingin melemparinya garpu melepuh. Tiba-tiba aku teringat.
“San, Amanda yang mana ya? Bisa lihat fotonya?”
“Ada.” Ikhsan merogoh kantongnya, tidak sabar menunjukkannya padaku.
Tidak lama, Ikhsan berhasil menunjukkannya. Bukan foto full-face atau selfie sih, itu fotonya bersama teman yang lain, sepertinya setelah kerja kelompok kelas bioteknologi. Saat kutanya lagi, Ikhsan bilang hanya itu yang ia punya.
“Yang lain dong. Kurang jelas yang ini. Harusnya di FB ada.”
“Aku nggak mau buka.”
Aku mengernyitkan dahi. Baiklah, itu kehendak klien.
“Tapi yang mana sih? Aku kudet nih, seriously. Kelas kita jauhan kali ya.”
Ikhsan diam saja.
“Jadi kapan mau ngamatin Manda? Biar aku familiar.”
“Itu...yang agak susah, Ra.”
“Jangan ngeraguin jubir lihai kaya gini dong. Besok apa lusa? Aku beneran pingin bantu.”
“Nggak usah.”
Aku merasa agak janggal dengan semua ini. “Kok?”
“Dia nggak di sini.”
“Ke mana?”
“Pindah kali.”
“HAAAAAAAAHHHH?”
“Iya.”
“San, hmmm, berarti kita harus cari dia di luar sekolah ini. Kamu tetap harus ngungkapin.”
“Nggak usah.”
“Maksudnya?”
“Aku cuma butuh teman cerita kok. Aku tahunya dari teman-teman, katanya kamu bisa nolong orang kesusahan cinta.”
“Cu..cuma cerita? I..iya sih aku berusaha bantu mereka yang susah ngungkapin cinta.”
“Kehilangan bagian dari cinta?”
“Setahuku mengikhlaskan seseorang adalah cinta yang paling besar.”
“Iya, yang mengikhlaskan kehilangan nggak?”
“Definitely.”
Ikhsan menangis. “Aku sudah ikhlas, Ra. Aku sudah benar-benar ikhlas, tapi aku nggak bisa bohongin perasaanku. Ada yang hilang, di sini. Dia nggak ada, lagi.”
“Aku paham. Positifnya, dia selalu di hatimu.” Maaf Ikhsan, sudah kukatakan di depan, aku tak terlalu baik memberi solusi.
“Kamu nggak tahu rasanya.”
“Kata siapa???” Nadaku meninggi.
Hari itu, pukul 4.25 sore, hujan turun. Aku dan Ikhsan menangis –menangisi orang yang berbeda, namun rasanya hampir sama.

Kalian bertanya ya mengapa aku menangis? Karena hari itu memoriku jadi kembali ke 2 tahun yang lalu, hari di mana aku memutuskan menjadi jubir atas perasaan seseorang. Aku juga pernah, terlambat mengungkapkan. Untuk hal ini, rasanya aku harus lebih banyak belajar mengenai manajemen diri. Setelah aku paham dan benar-benar pulih, akan aku tularkan energinya, for sure. "Aku harus kuat dulu, baru bisa menguatkan yang lain."

My Instagram