Kamis manis yang lain, aku bicara tentang tulus dan
tekun –2 kata prioritas yang ingin aku kesankan pada orang yang memilih
mengenalku lebih jauh.
Kakakku yang bilang, kita akan cenderung menjadi
jawaban atas pertanyaan “kamu ingin dikenal orang sebagai orang yang seperti
apa?” Aku setuju, jika mindset itu datang dan ditanam kuat dalam diri, mungkin
tidak sulit bagi kita untuk bersikap. Melantangkan jawaban seperti ini atau
seperti apapun yang terlintas untuk dipikirkan, kemudian akan menjadi tantangan
baru –oleh orang psimis, disebut dengan beban. Iya, karena kita sudah
mengatakannya di awal perjumpaan, orang akan membuat frame terhadap diri kita.
Sekalipun orang tersebut tidak pernah menuntut atau meminta pertanggungjawaban
kita, kita yang dengan sangat sadar menjawabnya secara tidak langsung merasa
dilekatkan. Jawaban yakin itu akan ikut kemanapun kita pergi. Positifnya, kita
punya hal lain yang bisa difungsikan sebagai pengingat –another self reminder.
Aku pernah lupa, lebih tepatnya sengaja
meninggalkan identitas yang kurumuskan sejak lama ini. Sampai tadi pagi, aku menyesal
atas 15 menit kesedihanku. Satu, karena aku mendengarkan orang dari sisi yang
salah. Dua, karena aku lupa kalau aku adalah orang yang tekun (setidaknya
menurutku).
“Kalau aku lihat, kamu memang kurang (bisa dengan
mudah mengerti) . Kamu nggak akan ngerti kalau aku jelasin via kata-kata.
Mending aku liatin video atau ketemu aja, aku jelasin.”
Aku diam saja, lalu mengangguk. Tidak lama, aku
membenarkan. Iya, mungkin benar. Hari itu kami sedang membicarakan drawing part
mesin stripping. Garis-garis dan angka ukuran menghiasi kertas, tak ada yang
menjelaskan angka mana yang berkorelasi pada tebal atau lebar tablet. Bagaimana
bisa menjamin tak ada masalah saat tablet meluncur untuk dikemas? Aku akui memang, aku lemah sekali di hal-hal
mekanis –ini tertulis di hasil psikotest SMA, lagipula aku harus
mempertanggungjawabkan kertas itu maksudku menjelaskan kembali pada atasanku.
Jelas, aku akan berusaha membuat diriku benar-benar mengerti dahulu. Aku
bertanya hal-hal yang perlu aku tahu sampai hal dasar karena tak ada yang tahu
akan kemana diskusiku akan mengarah.
Kalau dipikir-pikir ada ribuan orang cerdas lahir
setiap hari, dijelaskan sedikit, dia bisa menjelaskan kembali sangat banyak.
Mereka di atas angin. Tapi kalau dipikir-pikir, banyak orang dengan usaha
konsisten yang juga lahir setiap hari, mereka tahu mereka lelah dan sering
diintimidasi zona nyaman, tapi mereka tetap melangkah, biar pelan asal tidak
berhenti. Siapa yang kemudian diterima dunia? Dunia membutuhkan orang cerdas
yang mampu mengedukasi dirinya sendiri, namun hubungkan dengan attitude. Orang tekun itu juga cerdas kok, pada
waktunya. Dia berusaha untuk bisa, Tuhan menghargai usahanya. Orang tekun tidak
harus mengerti semua hal, kira-kira seperti itu. Tapi suatu hari kesempatan
memanggilnya, dia akan berusaha lebih keras membuat dirinya mengerti.
Tidak berhenti di situ, lanjutkan menghubungkan
kata tekun dengan tulus. Tekun saja tidak cukup. Luruskan niatnya. Banyak
mungkin orang tekun di dunia, tapi apa maksudnya? Untuk apa menjadi tekun?
Buang jauh-jauh niat tak baik apalagi balas dendam dalam ketekunan. Lakukan
ketekunan dengan hati –itulah ketulusan. Tulus dan tekun berjalan beriringan,
menurutku. Saling melengkapi dan menjadikan karakter yang sempurna dalam
ketidaksempurnaan manusia. Lebih luas lagi, tulus bermakna seperti yang kita
selalu tahu. Baik, tanpa pamrih, ikhlas, melakukan dengan hati, adalah
pengembangannya.
Aku mengiyakan kalimat itu karena aku hanya manusia
biasa, tidak harus mengerti banyak hal. Dan jika aku mau, aku pasti bisa,
karena aku yakin ketekunan (usaha keras dan tulus) akan menakhlukan kecerdasan
(kekuatan yang tidak diperkaya dengan ketekunan dan kesungguhan, dibiarkan
berlalu, dielu-elukan). Lihat saja kura-kura berpeluh, pada akhirnya
mengalahkan kelinci sesumbar. Ada cerita lain seputar ini. Aku teringat rekan
kerjaku.
“Seperti ini nih, presentasi Bapak. Dibuat detail,
komunikatif, biar yang ngedengerin jadi paham dan nggak bosan. Ada kepuasan,
untuk diri sendiri, orang lain juga,” kalimatnya menunjukkan tampilan di
laptopnya.
“Wah, keren Pak!” kataku takjub. Memang bagus,
datanya juga lengkap, sepertinya detail pekerjaannya memang didokumentasikan
dengan baik.
“Biar nggak lupa, ada aktivitas apa saja yang saya
kerjakan dalam 1 bulan, saya letakkan semua aktivitas per bulan dalam folder.
Apapun, iya apapun,” katanya lagi. Hal A, B, dan C yang beliau lakukan di bulan
Januari akan masuk dalam folder Bahan Laporan Bulanan à 2015 à Januari. Begitu tiba waktunya
membuat laporan bulanan, Bapak tidak akan terlalu kebingungan seperti aku saat
awal kerja. Rekapnya sudah ada dalam folder. Ya memang tidak semua pekerjaan
diperlakukan seperti ini sih, cuma tepat saja bagi Bapak yang sehari-hari
aktivitas di lapangannya hampir 80%. Kalau tidak didokumentasikan dengan baik, pada
tanggal 30 mungkin saja berakhir lupa tanggal 12 fokus pada aktivitas lapangan
apa.
“Bapak kenapa bisa terpikir yang seperti ini sih?”
“Hahaha, kalau saya ganteng, mungkin saya sudah
jadi artis dan tidak perlu sulit-sulit melakukan ini. Masalahnya rambut saya
sedikit, saya kurang ganteng kali ya. Jadi saya fokus melakukan apa yang saya
bisa dengan baik.”
Guys, apa kalian merasakan hal yang sama sepertiku?
Aku menemukan kata tulus dan tekun di kalimat terakhir Bapak. Sungguh, jawaban yang
baik. Jawaban yang berhasil mengesankan seperti apa diri sebenarnya, dengan
pembuktian sederhana.