“When you wish good for others, good things come back to you.
This is the law of nature.” – Sri Sri Ravi Shankar
Belakangan aku jadi sangat suka kalimat ini. Kalau
dianalisis lebih dalam, sepertinya hukum ini bekerja dengan sangat baik di
sekitarku. Mari, kuceritakan tentang sosok yang berhasil membahagiakan dirinya
sendiri karena kurasa sangat paham mengenai hukum ini. Membahagiakan dirinya
sendiri? Dilihat dari mana? Kukatakan di awal, ini adalah murni analisisku
saja, dibuktikan dengan perlakuannya kepadaku (sebagai contoh). Pertemuan yang
sangat singkat namun sampai hari ini aku yakin sekali, beliau adalah orang yang
bahagia.
Adikku tiba-tiba berceletuk, setiap minggu dia akan
berusaha mengunjungi sebuah toko buku. Saat kutanya kenapa dan kukira alasannya
akan mainstream seputar buku yang lengkap atau harga yang murah, ternyata
jawabnya justru di luar nalarku. “Mau didoain sama pak tukang parkirnya, Tan.
Orangnya ramah banget, jadi seneng ke sana terus.” Nah lho? Seperti apa?
Di hari lain setelahnya, aku berkesempatan
mengunjungi toko buku tersebut. Ya kebetulan ada barang yang aku cari untuk
mempertahankan predikat ‘paling rajin’ dan ‘paling rapi’-ku (baca: polling beredar
di teman-teman dekatku –yang tahu sekali keseharianku, atas inisiatif mandiri
mereka sendiri). Saat akan keluar gedung, aku melihat dari kaca depan mobil,
ada seseorang yang menungguku di pinggir pintu keluar sedang duduk di kursi
tinggi. Dari jauh aku sudah sangat yakin, beliaulah yang dimaksud oleh adikku.
Kok? Iya, rona wajahnya bersinar sekali –ini sama sekali tidak ada hubungannya
dengan masih muda atau sudah tua. Biar kuteruskan, senyumnya lebar sekali. Aku
terus-menerus berusaha memperhatikannya saat ada mobil yang menghalangi
pandanganku, tepat di depan mobilku. Samar-samar kudengar, “Hati-hati, Bapak.
Semoga sukses ya. Terima kasih banyak. Semoga dimudahkan urusannya.” Wow!
Aku tiba-tiba langsung menirukan senyumannya.
Seperti ini ya rasanya didoakan, bahagia sekali. Tentu yang mendoakan harus
bahagia dahulu. Ketika bapak penjaga karcis itu mendoakan orang lain yang tidak
ia kenal sekalipun, ia sudah melampaui orang lain dalam hal kebaikan universal –yang
perlahan-lahan mulai ditinggalkan khalayak, apa karena ini zaman Kaliyuga? Rona
bahagia yang tampak menghiasi wajahnya itu adalah buah dari perbuatannya kepada
semua orang, maksudku tanpa maksud tertentu (jika dilakukan pada orang
tertentu).
Ah, cuma rona
bahagia di wajah saja kok? Apa setimpal? Baiklah, sekarang berkacalah.
Sudah berapa kali kau tersenyum lebar karena bahagia dalam sehari? Setahuku,
itu agak sulit ya di dunia individualis tempat kita tinggal sekarang. Tapi
kalau kau selalu melakukannya, selamat, kau sudah berbuat sangat baik pada
orang lain. Orang-orang tersebut lah yang mendoakanmu di bawah bantalnya, tanpa
kau tahu. Selamat. Terlintas saja, bagiku, senyum adalah bantuan. Ini terlepas
dari alasan lain mengapa orang memilih tersenyum lebar dalam sehari ya, misalnya
mindset hidupnya positif, baru menang lotre, baru mendengar pernyataan cinta,
baru lulus, merasa sangat beruntung, dll. Eh, tapi kalau mau dihubungkan kembali
dengan perbuatan baik sebagai aksi, contoh yang kusebutkan di atas bisa saja
merupakan reaksi.
Ketika datang giliranku, aku biarkan dirinya melihat
senyumku yang lebar itu, menyamai senyumnya –jika bisa. Benar sekali, ketika
dia mengambil karcis parkirku, dia mendoakanku hal yang sangat baik untuk dipikirkan.
Aku pun spontan mendoakannya. Sungguh hari yang baik untuk diingat.
Aku jadi ingat salah satu resolusi 2016-ku, mendoakan orang lain J