Has your life brought joy to others?”
Aku menemukan pertanyaan yang bahkan sangat sulit
kujawab ini dari salah satu film dengan pesan terbaik versiku, The Bucket List.
Ini adalah dua pertanyaan yang diajukan seorang pria tua pada sahabatnya yang
berusaha mencari makna dan kepuasan hidup sebelum ajal menjemput. Pada intinya,
semua pasti setuju, hidup di dunia yang sebentar ini untuk apa jika tidak
dinikmati (baca: disyukuri)? Untuk apa jika selalu diratapi? Daaan, untuk apa
jika tidak berguna bagi orang lain?
Kadang ya mudah sekali orang itu meratapi nasibnya,
lalu dengan mudah mengatakan Tuhan tidak adil. Kalau ini terjadi padaku dan
semoga aku selalu punya secuil pikiran untuk rasional, aku akan segera
mengarahkan pikiranku ke kalimat yang aku dengar malam-malam saat nonton TV
dengan ibuku, yang lantas beliau menceritakan perjalanan hidupnya yang keras di
masa kecil hingga menjadi karismatik seperti saat ini. Begini kata-kata di TV
tersebut –aku sungguh lupa siapa yang menyampaikan, yang jelas beliau
diwawancara karena mengalami kejadian yang memilukan, “Tuhan tidak mungkin menciptakan
saya kalau hidup saya suram terus? (Buat apa?)”
Menelaah pertanyaan retoris di atas, sebenarnya
mengapa hidup orang/ kita suram? Ada 1 pihak yang paling berperan, selain Tuhan
di atas segala-galanya. Diri sendiri, yang membiarkan pikiran dan hati menjadi
sedih, kecewa, iri, dendam, dan tidak tenang. Namun selalu ada 2 pihak yang
bisa mendatangkan matahari untuk kesuraman seseorang? Diri sendiri –tidak perlu
dijelaskan lagi mengapa, dan orang lain yang bersedia menghibur, membantu
melupakan masalah sejenak (dengan cara positif), hingga memberi solusi paling
bijak, atau hanya duduk diam menemani. As you know, itu semua adalah usaha
untuk menjawab pertanyaan kedua. Tentu, sebelumnya diri sendiri harus selalu
sadar untuk menanyakan pertanyaan pertama, setiap hari kalau bisa.
Sewaktu aku diberi kesempatan untuk ikut konferensi
interfaith di Palembang, aku 1 villa dengan beberapa teman baru yang sangat
positif dan bersahaja. Ada teman bernama Winner (namanya hebat ya) yang sekamar
denganku di 2 ranjang single bed. Acara-acara kami di sana sangat padat dan
menguras tenaga, kami pasti memanfaatkan waktu kami untuk re-charge tenaga,
tidak tidur terlalu malam walaupun rasanya mungkin sangat seru, apalagi
dilakukan dengan teman baru sevisi. 15 menit setelah memutuskan untuk tidur,
aku tiba-tiba terbangun. Aku lihat Winner masih terjaga di sudut kamar,
terduduk dengan memangku notes di lutut kanan.
“Kok belum tidur?”
“Masih nulis, Tan.”
“Nulis apa?”
Dia mendekat lalu menunjukkan padaku catatannya. Dia
mulai bercerita. “Aku, sebelum tidur biasa nulis perbuatan baik apa aja yang
udah aku lakuin dan hal-hal baik apa yang terjadi selama sehari.”
Rasanya seperti aku tidak mengantuk lagi.
“Ini kebiasaan dari kecil, ayahku yang mengajari.”
Oh, rumus hidup apa lagi yang kutemukan ini? Sangat
inspiratif! Aku tidak pernah tahu kalau kubatasi kehidupanku di garis hijau.
Aku mungkin tidak serajin Winner yang setiap hari membiasakan dirinya kembali
ke dua pertanyaan esensial dalam hidup, tapi aku selalu berusaha. Menjadi
pribadi sebaik-baiknya dan berusaha berguna bagi orang lain, sesuai kapasitas
diri.