Questions Before Die #1


“Have you found joy in your life?
Has your life brought joy to others?”

Aku menemukan pertanyaan yang bahkan sangat sulit kujawab ini dari salah satu film dengan pesan terbaik versiku, The Bucket List. Ini adalah dua pertanyaan yang diajukan seorang pria tua pada sahabatnya yang berusaha mencari makna dan kepuasan hidup sebelum ajal menjemput. Pada intinya, semua pasti setuju, hidup di dunia yang sebentar ini untuk apa jika tidak dinikmati (baca: disyukuri)? Untuk apa jika selalu diratapi? Daaan, untuk apa jika tidak berguna bagi orang lain?

Kadang ya mudah sekali orang itu meratapi nasibnya, lalu dengan mudah mengatakan Tuhan tidak adil. Kalau ini terjadi padaku dan semoga aku selalu punya secuil pikiran untuk rasional, aku akan segera mengarahkan pikiranku ke kalimat yang aku dengar malam-malam saat nonton TV dengan ibuku, yang lantas beliau menceritakan perjalanan hidupnya yang keras di masa kecil hingga menjadi karismatik seperti saat ini. Begini kata-kata di TV tersebut –aku sungguh lupa siapa yang menyampaikan, yang jelas beliau diwawancara karena mengalami kejadian yang memilukan, “Tuhan tidak mungkin menciptakan saya kalau hidup saya suram terus? (Buat apa?)”

Menelaah pertanyaan retoris di atas, sebenarnya mengapa hidup orang/ kita suram? Ada 1 pihak yang paling berperan, selain Tuhan di atas segala-galanya. Diri sendiri, yang membiarkan pikiran dan hati menjadi sedih, kecewa, iri, dendam, dan tidak tenang. Namun selalu ada 2 pihak yang bisa mendatangkan matahari untuk kesuraman seseorang? Diri sendiri –tidak perlu dijelaskan lagi mengapa, dan orang lain yang bersedia menghibur, membantu melupakan masalah sejenak (dengan cara positif), hingga memberi solusi paling bijak, atau hanya duduk diam menemani. As you know, itu semua adalah usaha untuk menjawab pertanyaan kedua. Tentu, sebelumnya diri sendiri harus selalu sadar untuk menanyakan pertanyaan pertama, setiap hari kalau bisa.

Sewaktu aku diberi kesempatan untuk ikut konferensi interfaith di Palembang, aku 1 villa dengan beberapa teman baru yang sangat positif dan bersahaja. Ada teman bernama Winner (namanya hebat ya) yang sekamar denganku di 2 ranjang single bed. Acara-acara kami di sana sangat padat dan menguras tenaga, kami pasti memanfaatkan waktu kami untuk re-charge tenaga, tidak tidur terlalu malam walaupun rasanya mungkin sangat seru, apalagi dilakukan dengan teman baru sevisi. 15 menit setelah memutuskan untuk tidur, aku tiba-tiba terbangun. Aku lihat Winner masih terjaga di sudut kamar, terduduk dengan memangku notes di lutut kanan.

“Kok belum tidur?”
“Masih nulis, Tan.”
“Nulis apa?”
Dia mendekat lalu menunjukkan padaku catatannya. Dia mulai bercerita. “Aku, sebelum tidur biasa nulis perbuatan baik apa aja yang udah aku lakuin dan hal-hal baik apa yang terjadi selama sehari.”
Rasanya seperti aku tidak mengantuk lagi.
“Ini kebiasaan dari kecil, ayahku yang mengajari.”

Oh, rumus hidup apa lagi yang kutemukan ini? Sangat inspiratif! Aku tidak pernah tahu kalau kubatasi kehidupanku di garis hijau. Aku mungkin tidak serajin Winner yang setiap hari membiasakan dirinya kembali ke dua pertanyaan esensial dalam hidup, tapi aku selalu berusaha. Menjadi pribadi sebaik-baiknya dan berusaha berguna bagi orang lain, sesuai kapasitas diri.

My Instagram