“Ya Tuhan, selalu berilah aku hati yang baik untuk memperjuangkan
mimpi-mimpiku.”
Dari beberapa
pengalamanku ke belakang, ternyata niat yang kuat saja tidak cukup. Hati yang
baik benar-benar diperlukan dalam menggapai mimpi sehingga bagaimanapun hidup
menguji kita di awal, di tengah, dan di akhir jalan, kita akan tetap lapang,
ikhlas, dan berprasangka baik. Berikut adalah penguat rasa yang sering aku
dengungkan, kalau tiba-tiba ingin kembali ke awal, padahal sudah di tengah
jalan.
(Segala sesuatu indah pada waktunya)
(Kalau kamu mengeluh, ingat kenapa kamu mulai)
(Kalau mimpi tidak benar-benar besar, lalu apa yang benar-benar diperjuangkan?)
(Kamu orang hebat? Orang hebat tidak akan melarikan diri)
(Perjuangkan mimpi sekarang! Karena jika tidak, ia akan kembali 50 tahun lagi dalam bentuk penyesalan)
(Lebih baik bermimpi besar kemudian gagal, daripada tidak pernah bermimpi kemudian mencapainya)
(Shoot for the moon. Even if you miss, you'll land among the stars)
(Jangan takut kehilangan hal baik, untuk mendapatkan yang terbaik)
(Karena selalu ada tempat dan saat di mana ombak paling tinggi sekalipun akan berbalik arah)
(Kita tidak pernah kalah sampai kita berhenti berusaha)
(Jangan bekerja untuk uang, uang mudah menguap! Bekerjalah/ berkaryalah, untuk sesuatu yang lebih besar dari uang)
(Hello! Rome wasn't built in a day | Roma tidak dibangun dalam waktu 1 hari)
Kalau mungkin
orang di luar sana punya kepedulian lebih dan bertanya kesibukannya apa
sekarang? Mungkin aku akan lebih sering menjawab ‘sedang menghabiskan jatah
gagal.’ Kenapa? Ada yang salah? Harusnya tidak ya, karena jawabanku barusan
adalah alternatif dari jawaban ‘di tengah jalan.’ Sebagai seorang manusia
biasa, aku tidak begitu saja tegar saat diuji Tuhan. Positifnya, Tuhan sayang
sekali padaku, makanya aku sering sekali diberi ujian. Seperti saat ini,
mungkin beberapa kali rasanya aku ingin berhenti saja, kembali ke zona nyaman,
jadi anak manis baik-baik yang takut lututnya lecet. Akan tetapi, kalau
akhirnya sadar saat ini aku sedang di tengah jalan, justru bangga sekali.
Bayangkan saja
aku sedang bermimpi berfoto selfie di bulan. Saat awal aku bicarakan niatku ini
saja, teman-teman pasti akan menertawakan. Belum lagi jika dirinci, aku harus
membeli roket, belajar pakai baju astronot, belajar teknik hidup di tempat
tanpa oksigen, meyakinkan ayah ibuku untuk tidak menangis, dll. Adalah
pengorbanan yang sangat besar, di awal, apalagi mendengar tawa orang-orang yang
bernada mencibir, tanpa dukungan sama sekali. Singkat cerita, aku sudah
melakukan itu semua. Aku sudah berada di tengah jalan. Tiba-tiba, meteroid yang
lebih berat dari bola bowling menghantam roketku. Roketku oleng tapi syukurlah
tidak sampai jatuh. Ya, aku manusia biasa. Walaupun aku paham betul aku tidak
kekurangan apapun (aku bawa stok oksigen antihabis, teknik bertahan hidup sudah
aku kuasai, persediaan makanan berlimpah, foto idolaku Towa Asakura juga selalu
menemani), ada satu sisi diriku yang kemudian menjadi sangat gugup, sedih,
tidak percaya diri. Bagaimana nasibku selanjutnya? Sebentar lagi aku pasti
mati! Ini baru satu, setelah ini pasti lebih banyak benda-benda asing tak
bertanggung jawab yang tak paham niat tulusku. Aku tidak bisa membayangkan
roketku akan rusak dan terseret ke blackhole. Aku akan hilang selamanya!
Pengorbananku, tidaaaaaak! Lebih baik aku jadi anak manis yang keluar rumah 30
cm saja sudah pakai payung renda.
Setelah
dihantam benda lain yang lebih kecil, pikiranku mengajakku ke dunia lain yang
bisa dipikirkan. ‘Aku sedang di tengah jalan.’ Kenapa tidak berpikir seperti
ini: siapa tahu satu kilometer lagi aku sampai. Nanti kalau sudah sampai, aku
akan ambil 3.000 foto terkeren sepanjang masa, beberapanya ada yang mengibarkan
bendera Indonesia dan membentangkan spanduk I LOVE INDONESIA. Di saat itu, aku
akan melihat instagramku banjir likes dan followers. Aku yang beranjak jauh
lebih hebat dari aku yang duduk berandai, apalagi aku sudah mengorbankan hal
yang sangat besar. Misalnya, roketku. Mahal sekali dia! Tabungan beasiswaku
sedari kecil saja belum bisa membelinya. Ada investasi tanpa bunga dari ayah
ibuku di dalamnya, makanya aku bisa membeli roket irit bahan bakar dengan suara
desing yang sangat minim. Mulus, warnanya biru dan silver. AKU TAHU PASTI AKU
SEDANG DI TENGAH JALAN, KALAU AKU BALIK LAGI, AKU MAU JADI APA? Aku harus
menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Kalau aku mengeluh, aku harus ingat
seperti apa perjuanganku di awal dan untuk apa aku memulai semua ini. Kalau aku
tidak mendapatkan, berarti itu bukan akhirnya, itu bukan rezekiku dan Tuhan
pasti menggantinya dengan yang lebih baik. Aku berfokus pada proses, bukan
hasilnya. Jika memang benar aku akan terseret ke blackhole dan selamanya tidak
ditemukan sebelum namaku berhasil menjadi nama sebuah jalan/ ruangan, it’s
okay, aku mati/ hilang dalam kebahagiaan karena telah memperjuangkan apa yang
aku cita-citakan. Ini murni tentang aku, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Karena ini hidupku, karena hidupku cuma sekali, aku akan
menjadi versi terbaikku dan aku akan membuat kisah seru yang beda dengan orang
kebanyakan. Hidup selamanya di zona nyaman pun sebenarnya benar, tapi rasanya
itu bukan aku.
NB: Tulisan ini suatu hari akan
dibaca lagi oleh penulisnya (Ni Putu Intan Sawitri Wirayani), dalam kenyataan dirinya sudah berhasil
memperjuangkan mimpi dan kemudian diberi Tuhan banyak bonus kebahagiaan baik
untuk dirinya maupun untuk diteruskan. Aamiin, tat astu swaha.