Bandung, 31 Maret (Bapak yang Dikirim Tuhan #2)

Hari itu, di waktu senggang kami di antara sore dan malam, ayah mengabari kawan seperjuangannya di Samarinda dulu –Pak Agus, kebetulan beliau saat ini ditempatkan di Bandung. Semua sedari awal nampak biasa saja, pertemuan teman lama, saling mengenang, dan berkah bagiku karena seperti sudah sewajarnya, kami diajak makan malam.
Menunggu jamuan kami datang, aku mengamati Pak Agus sambil mengikuti arah pembicaraannya walaupun sesekali aku menatap ke langit, berharap ada uang 500 juta jatuh untukku, untuk membantuku menciptakan masa depan yang selalu kusebut dalam doa. Kami diajak makan ke restoran mahal, nasi goreng teri pesananku saja sudah 59k belum dengan pajak, belum yang lain. Totalnya kira-kira 450k untuk 4 orang. Beliau bilang seminggu sekali mungkin beliau ke tempat itu untuk membunuh waktu, maklum, keluarganya tidak bersamanya di Bandung. Kagetnya aku menghitung harga menu-menu yang kami pesan ini menjadi wajar saat menyadari beliau adalah pejabat BUMN. Mobilnya saja bagus, ponselnya iPhone 6. Oke, yang aku bahas ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan materialistik, ini hanya semacam intro.

Setelah 2 menit ke belakang kami membahas kontrak dan gaji adikku yang baru saja menjadi pegawai BUMN, Pak Agus gantian bercerita lagi. Kulihat beliau memang senang ngobrol (baca: berbagi). Hidupnya yang bergelimang ini –yang sama sekali tidak berpikir saat akan makan makanan mahal di restoran bintang 5, TIDAK DATANG DARI LANGIT, TIDAK BEGITU SAJA JATUH DARI LANGIT. Masuklah kami ke dunianya, 20an tahun yang lalu.

Beliau dulunya adalah mahasiswa teknik elektro UGM. Beliau 4 bersaudara dan kesemuanya sedang kuliah –aku lupa persisnya di mana, yang jelas, saking miskinnya (ini murni beliau sendiri yang mendefinisikan keadaan ekonomi keluarganya), beliau dan 4 saudaranya hanya bisa mengambil 2 kamar kos dengan dinding pembatasnya dibobol agar bisa bertahan hidup dengan ‘sedikit lebih’ leluasa. Pernah juga, uang 4 bersaudara ini hanya tinggal 200 rupiah dan masih ada banyak hari untuk dilalui. Bagaimana mungkin hanya memandangi langit saja uang akan jatuh? Berbagai kesempatan untuk berhenti, Pak Agus memilih untuk tidak menyerah. Bahkan sampai detik ini, kata-katanya masih mengalun indah seperti suara piringan hitam kualitas terbaik: “JANGAN PERNAH MENYERAH, KARENA MENYERAH AKAN MEMPENGARUHI 1 GENERASI SETELAHNYA.” Intinya, beliau tidak mau jika keputusannya tidak berpendidikan tinggi saat itu menyebabkan anak-anaknya suatu hari berada dalam pusaran ketidakberdayaan. Di akhir kegalauan 200 rupiahnya yang terpecahkan karena merasa diri jauh lebih kuat dari itu, beliau dan saudara-saudaranya akhirnya membeli singkong seharga 150 rupiah untuk dimakan sedikit-sedikit selama beberapa hari –hanya direbus dan dicocol dengan gula/ garam seadanya.

17 tahun sebelumnya, sering sekali beliau tidak mampu membeli buku pelajaran, padahal sang guru selalu menjadikan rangkaian huruf dan angka di lembar demi lembarnya sebagai bahan ujian. Rasa-rasanya sikap pantang menyerah yang beliau anut ini sudah menjadi kebiasaan, dibawa sampai sukses. Entah bagaimana caranya, yang penting tidak menyerah dahulu. Syukurlah tetangga beliau termasuk lebih berada, buku paket bukanlah hal yang perlu diratapi –apalagi menengok terus ke langit berharap ada uang jatuh, buat apa. Pak Agus selalu menyempatkan diri meminjam buku paket milik tetangganya untuk disalin –tidak pernah dibaca, karena proses pendalamannya terjadi pada saat menyalin. “Waktu saya habis untuk menyalin isi buku paket, jadi saya tidak belajar lagi. Tapi, nilai-nilai saya jauh lebih bagus dari yang punya buku paket.” Aku mengangguk, aku paham rumusnya!

Kembali ke kehidupan masa sekarang, Pak Agus sadar bahwa beliau dibesarkan oleh sikap pantang menyerah yang berani beliau pilih di kala orang-orang memilih pasrah (you know exactly what I mean, pasrah dan ikhlas itu beda, tolong). Jika kadang teringat masa lalu, beliau kadang bersedih dan selalu tergerak untuk menghentikan mata rantai kesedihan itu. “Pas saya baca Radar Jember, waktu itu saya tugas di sana, ada anak yang orang tuanya cerai dan dia milih ikut bapaknya, keterima ITB Teknik Kimia apa ya, tapi nggak bisa berangkat karena nggak bisa bayar, mungkin karena dia masih punya adik kecil-kecil 3. Saya cari dia, Pak, saya cari sampai ketemu! Saya bantu. Khan kita nggak tahu besarnya dia jadi Menteri ESDM atau apa kalau berhenti di sini.” Aku, ayah, dan ibuku merasa mendapat banyak dari liburan klasik kami ke Bandung. Oh, ini belum selesai. “Di Malang juga gitu, Bu, Pak. Aslinya kalau STAN khan nggak bayar ya, cuma khan memang harus ke Jakarta. Saya nemu di koran ada anak pinter keterima STAN tapi nggak berangkat karena akomodasinya susah. Iya saya bantu sebisanya. Kayanya sekarang dia sudah lumayan sukses.” Inspiring, Pak Agus –yang kudefinisikan sangat sukses dan bahagia karena beliau membagi kesuksesannya, memberi arti di kehidupan orang lain.

Pak Agus berkata pada pada anak-anak yang hampir menyerah itu –yang menjadi catatan keduaku: MISALNYA ADA 7 LEVEL MENUJU SUKSES, ORANG HAMPIR SELALU MENYERAH DI PINTU PERTAMA. MENURUT MEREKA PINTU PERTAMA ITU TERKUNCI. PADAHAL, DALAM KENYATAANNYA, PINTU KEDUA DAN SETERUSNYA ITU HANYA TERTUTUP SAJA TAPI TIDAK TERKUNCI. “Saya bilang lagi, jangan menyerah Dek, pintu pertama ini saja yang harus kalian lewati sampai berdarah-darah. Setelah ini, kalian khan bisa kerja sambilan/ ngajar untuk bertahan hidup tapi itu jauh lebih ringan daripada memutuskan tidak kuliah! Pesan saya, nanti kalian ingat-ingat adik kalian, biayai mereka sekolah, biar banyak harapan dan masa depan yang terselamatkan,” lanjut beliau. Kami sampai di suapan terakhir. Jumat dan musik band mungkin identik ya, dentumannya mengusik kami sedikit, syukurlah tidak ada sedikitpun inspirasi yang kutukar dengan lirik lagu Ed Sheeran-Shape of You yang sedang dimainkan. 
Aku menunggu saat-saat baik dipertemukan dengan orang yang baik, yang membantuku berpikir dan berkata baik lalu menginspirasiku melakukan hal baik. Terima kasih Tuhan, tidak apa belum dikirimkan uang 500 juta dari langit, dikirimkan ini saja aku sudah sangat berterima kasih –mungkin ini juga 500 juta dari Tuhan, tapi dalam bentuk yang lain.

My Instagram