Namaku
Rey, badanku gemuk dan aku memakai kacamata tebal. Aku dikenal teman-teman di
sekolah karena perawakanku yang seperti ini. Tak apalah, ini jauh lebih baik
daripada dikenal karena perbuatan yang negatif.
Aku
mendapat beasiswa unggulan dan terpaksa harus hidup jauh dari orang tua. Tak
apalah, ini adalah sebuah prestasi, aku jelas sedang membahagiakan keluargaku.
Walaupun begitu, aku, ayah, ibu, dan adikku tetap saling berkirim kabar melalui
surat. Nyatanya, memang hanya itu yang bisa menjangkau daerah tempatku tinggal.
Suatu
hari, surat ke-118 datang pagi sekali. Syukurlah kekuatan perasaanku tepat, aku
pun sengaja bangun sangat pagi sembari membaca buku pelajaran. Aku terdiam
membaca isinya, yang jelas aku tidak boleh menangis karena keluargaku bisa
sedih dan mungkin memutuskan tidak mengirim surat lagi. Aku melipatnya
hati-hati dan memasukkanya ke dalam dompet agar selalu terbawa kemanapun.
Ibuku
benar-benar tahu keadaanku. Beliau tahu jadwalku sembahyang, makan, belajar,
tidur, dan rapat. Termasuk hari dimana aku akan berlomba, Sabtu minggu depan.
Beliau juga tak henti mengingatkan aku untuk bersyukur walaupun aku sangat
sibuk.
“Ah Tuhan, bukankah aku tidak secerdas mereka?
Apa aku bisa? Aku juga tidak anggun untuk mengerjakan pekerjaan feminin seperti
ini,” keluhku suatu malam, saat aku tidak berhasil menghilangkan kekhawatiranku
tentang lomba membuat kristik yang semakin lama semakin dekat. Aku jelas sudah
tidak bisa tidur lagi, aku kemudian mengambil jarum, benang, dan kain
kristikku. “Lebih baik aku coba saja,” gumamku. Sambil merajut, aku teringat
pola bunga yang pernah diajarkan ibu saat aku pulang liburan. Aku memutuskan
untuk membunuh malam dengan terus belajar membuatnya walau aku tahu pasti ibu guru
tidak pernah mengajarkan ini.
Akhirnya
lomba itu datang juga. Saking gugupnya, tanganku terus saja berkeringat. Aku
sampai berulang kali gagal memasukkan benang ke dalam jarum. “Anak-anak, tema
kali ini adalah inovasi kristik. Kalian bisa membuat apapun yang tidak pernah
Ibu ajarkan. Selamat berkreasi,” kata ibu guru di depan kelas, membuka
perlombaan. Mendengar itu, aku merasa ayah, ibu, dan adikku ada di sampingku
dan memberi dukungan teramat nyata. Aku merasa bisa, jauh lebih bisa dibanding
malam itu. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.” Dan aku pun mulai mengerjakan.
Dua
minggu berlalu. Kali ini aku dikenal teman-teman sebagai Rey Sang Inovator,
bukan karena badanku, apalagi kacamataku. Aku membuka dompet hijauku sesaat
sesudah memandangi piala Juara I yang aku letakkan di meja.
Sekali
lagi, aku membaca surat ke-118 itu. Aku senang dan selalu melambung, aku
terharu tetapi juga termotivasi. Di dalam surat itu, ibuku hanya menulis 1 kata
panjang, “Tak masalah seberapa lambat dirimu berlari, kau tetap mendahului
barisan orang-orang yang hanya duduk di kursi."
NB : Tulisan ini berhasil go internasional, tidak seperti penulisnya. Selengkapnya ada di Antologi Simfoni Balqis, yang kini menjadi Best Seller dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Terima kasih kepada semua pihak.